Hujan turun tanpa aba-aba, seperti rasa yang datang di saat hati belum sepenuhnya siap. Malam menebal, jalanan licin, dan perjalanan terasa lebih panjang dari biasanya. Di tengah badai itu, asmara tidak hadir sebagai pelipur lara, melainkan sebagai ujian ketahanan jiwa.
Kesakitan dalam perjalanan bukan selalu tentang luka fisik. Ada nyeri yang tak berdarah, namun perihnya menetap—ketika harapan tak searah, ketika kebersamaan harus ditunda, ketika rasa dipaksa bertahan di ruang sunyi bernama kesabaran.
Asmara di tengah hujan mengajarkan kita untuk tidak tergesa. Setiap langkah harus hati-hati, sebab satu kesalahan kecil bisa membuat jatuh lebih dalam. Malam menjadi saksi bisu: siapa yang memilih tetap berjalan, dan siapa yang memilih berhenti karena tak sanggup menahan dingin.
Di tengah badai, cinta diuji bukan oleh manisnya janji, melainkan oleh kesediaan bertahan tanpa kepastian. Ada yang memilih berjalan berdampingan meski tak saling menggenggam, ada pula yang memilih menjaga jarak demi tidak menambah luka.
Hujan akan reda. Malam akan berganti pagi.
Namun perjalanan menyisakan pelajaran: bahwa cinta tidak selalu tentang sampai bersama, tetapi tentang bagaimana kita menjaga diri dan orang lain di saat keadaan paling rapuh.
Jika kelak badai usai dan langkah masih seirama, mungkin itulah takdir yang layak dirayakan. Namun jika jalan memisah di tengah hujan, biarlah ia pergi dengan doa—sebab tidak semua yang menyakitkan harus disimpan sebagai dendam.
Di perjalanan ini, aku belajar:
Cinta yang dewasa tahu kapan bertahan, dan kapan melepaskan.
Karena terkadang, menyelamatkan hati adalah satu-satunya cara untuk tetap melanjutkan perjalanan.