Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Kisah Relawan Menerobos Hujan, Menyusuri Sungai, Demi Umat yang Membutuhkan di Tengah Bencana Aceh

Jumat, 19 Desember 2025 | 21:13 WIB Last Updated 2025-12-19T14:14:14Z

Gerakan Hati dan Panggilan Jiwa



Kisah Relawan Menerobos Hujan, Menyusuri Sungai, Demi Umat yang Membutuhkan di Tengah Bencana Aceh

Hujan tidak lagi sekadar cuaca bagi kami. Ia telah berubah menjadi tanda duka, sekaligus panggilan. Di Aceh, hujan sering datang bukan membawa kesejukan, tetapi kecemasan. Sungai meluap, jalan terputus, rumah tenggelam, dan kehidupan rakyat kecil kembali diuji. Namun di balik air yang mengalir deras itu, ada gerakan sunyi yang tak pernah tercatat dalam laporan resmi negara: gerakan hati para relawan.

Perjalanan itu dimulai tanpa seremoni. Tidak ada panggung, tidak ada sambutan, bahkan sering tanpa kepastian. Dari Bireuen, Aceh Utara, Aceh Timur, hingga Aceh Tamiang, langkah-langkah kecil relawan bergerak menembus hujan, lumpur, dan arus sungai demi satu tujuan: memastikan umat yang terdampak tidak merasa sendirian.

Aceh dalam Luka yang Berulang

Bencana di Aceh bukan cerita baru. Sejarah panjang negeri ini telah ditempa oleh gempa, tsunami, konflik, dan kini banjir yang datang hampir setiap musim hujan. Ironisnya, yang paling sering menjadi korban adalah mereka yang paling sedikit bersuara: petani, nelayan, buruh harian, perempuan, dan anak-anak.

Di Bireuen, air datang perlahan namun pasti, menelan sawah, rumah, dan harapan. Di Aceh Utara, beberapa desa terisolasi, akses terputus, dan bantuan terlambat. Aceh Timur menghadapi luapan sungai yang tak lagi mampu ditahan tanggul tua. Sementara di Aceh Tamiang, hujan deras menjadikan sungai bukan lagi pembatas alam, melainkan ancaman hidup.

Dalam situasi seperti ini, negara sering hadir dalam bentuk spanduk dan pernyataan. Tapi rakyat lebih dulu melihat wajah relawan—basah, lelah, namun tetap melangkah.

Menerobos Hujan, Menyusuri Sungai

Perjalanan relawan bukan perjalanan heroik ala film. Ia penuh keraguan, keterbatasan, dan risiko. Mobil bak terbuka menembus hujan lebat, motor mogok di jalan berlumpur, perahu kecil melawan arus sungai yang tak bersahabat.

Ada malam-malam panjang tanpa tidur. Ada dingin yang menggigit tulang. Ada rasa takut yang tidak diucapkan, terutama ketika membawa logistik melewati sungai deras. Namun tak satu pun dari itu menjadi alasan untuk berhenti.

Karena di seberang sungai, ada ibu yang menunggu beras.
Di balik hujan, ada anak-anak yang butuh selimut.
Di desa terendam, ada umat yang berharap masih diperhatikan.

Relawan belajar satu hal penting: perjalanan kemanusiaan tidak menunggu kondisi ideal. Ia bergerak justru ketika keadaan paling tidak ramah.

Gerakan yang Lahir dari Hati, Bukan Anggaran

Apa yang menggerakkan relawan? Bukan proyek. Bukan pula sorotan kamera. Gerakan ini lahir dari hati yang terketuk dan jiwa yang terpanggil. Sebagian relawan meninggalkan pekerjaan harian, sebagian lagi mengorbankan waktu bersama keluarga. Mereka datang dengan apa yang ada: tenaga, waktu, dan keikhlasan.

Tidak semua relawan memiliki rompi resmi. Tidak semua tergabung dalam lembaga besar. Banyak di antara mereka adalah pemuda desa, mahasiswa, organisasi kepemudaan, komunitas sosial, dan jaringan kemanusiaan lokal yang bekerja tanpa pamrih.

Dalam bencana, mereka bukan sekadar penyalur bantuan. Mereka menjadi pendengar, penguat, dan saksi bahwa solidaritas masih hidup di Aceh.

Umat yang Bertahan di Tengah Keterbatasan

Bencana tidak hanya menghancurkan rumah, tetapi juga martabat. Ketika seseorang harus mengungsi, bergantung pada bantuan, dan kehilangan sumber penghidupan, yang runtuh bukan hanya dinding, tetapi juga rasa percaya diri.

Relawan memahami itu. Karena itu, bantuan tidak diberikan dengan cara menggurui, melainkan memanusiakan. Ada senyum yang dijaga, ada sapaan yang lembut, ada doa yang diam-diam dipanjatkan bersama.

Umat yang membutuhkan bukan objek belas kasihan, tetapi subjek kemanusiaan. Mereka adalah saudara yang sedang diuji, bukan angka dalam laporan kerugian.

Di Antara Negara dan Nurani

Opini ini bukan untuk meniadakan peran negara. Negara tetap memiliki tanggung jawab utama dalam penanggulangan bencana. Namun realitas di lapangan menunjukkan satu hal pahit: ketika birokrasi bergerak lambat, nurani rakyat bergerak lebih dulu.

Relawan sering hadir sebelum alat berat tiba. Relawan menembus wilayah yang belum terdata. Relawan menutup celah yang ditinggalkan sistem.

Ini bukan kritik kosong, melainkan cermin. Bahwa sistem perlu belajar dari kecepatan empati rakyatnya sendiri.

Aceh dan Pelajaran dari Air

Air yang meluap membawa pesan keras. Tentang hutan yang rusak. Tentang sungai yang menyempit. Tentang pembangunan yang abai pada keseimbangan alam. Dan tentang kebijakan yang sering datang setelah bencana, bukan sebelum.

Relawan membaca pesan itu bukan lewat dokumen, tetapi lewat kaki yang terendam lumpur dan tangan yang menggigil karena dingin.

Mereka paham, bencana bukan sekadar takdir alam, tetapi juga hasil dari pilihan manusia.

Panggilan Jiwa yang Tak Bisa Dibungkam

Tidak semua orang kuat menjadi relawan. Tapi setiap relawan digerakkan oleh panggilan yang sama: keinginan untuk tidak tinggal diam. Di saat banyak orang memilih aman, relawan memilih bergerak. Di saat hujan menghalangi, mereka justru melangkah.

Panggilan jiwa ini tidak bisa dibungkam oleh lelah, tidak bisa dibeli oleh uang, dan tidak bisa dihentikan oleh hujan.

Karena bagi relawan, membantu bukan soal mampu atau tidak mampu, tetapi soal mau atau tidak mau.

Penutup: Perjalanan yang Tak Pernah Sia-Sia

Perjalanan ini mungkin tidak tercatat dalam sejarah resmi. Nama-nama relawan mungkin tidak dikenal luas. Namun di hati umat yang pernah dibantu, jejak mereka akan selalu hidup.

Aceh mungkin terus diuji oleh bencana. Hujan mungkin akan kembali turun. Sungai mungkin akan kembali meluap. Tetapi selama masih ada gerakan hati dan panggilan jiwa, Aceh tidak pernah benar-benar sendirian.

Di tengah hujan, relawan tetap berjalan.
Di tengah sungai, mereka tetap menyeberang.
Di tengah bencana, mereka tetap memilih menjadi manusia.

Dan mungkin, itulah makna paling jujur dari kemanusiaan.

Penulis AZHARI