“Kala musibah datang menimpa, maka segera kenakan pakaian sabar. Dengan sabar musibah yang terjadi akan membuka jalan bagi datangnya nikmat.”
Musibah tidak pernah datang dengan permisi. Ia hadir tiba-tiba, merobohkan yang telah lama dibangun, merenggut kenyamanan, bahkan tak jarang mematahkan harapan.
Dalam hitungan jam, banjir menelan rumah, longsor memutus jalan hidup, dan duka menyelimuti keluarga yang kehilangan.
Pada saat seperti itu, manusia kerap bertanya: mengapa harus kami? Mengapa harus sekarang?
Namun, dalam tradisi iman dan kebijaksanaan hidup, musibah bukan sekadar peristiwa kehancuran. Ia adalah ujian, pengingat, sekaligus pintu sunyi menuju kedewasaan jiwa. Di titik inilah sabar menjadi pakaian paling mulia yang dapat dikenakan manusia.
Sabar bukan berarti diam tanpa rasa. Ia bukan pula sikap pasrah yang mematikan ikhtiar. Sabar adalah kekuatan batin untuk tetap tegak ketika dunia terasa runtuh. Ia adalah kemampuan menahan amarah, mengelola kesedihan, dan menjaga iman agar tidak ikut hanyut bersama air mata dan lumpur penderitaan.
Dalam Islam, sabar selalu ditempatkan berdampingan dengan shalat—dua penopang utama ketika manusia berada di titik terlemah. Sebab sabar mengajarkan kita bahwa tidak semua luka harus segera sembuh, dan tidak semua kehilangan harus langsung dimengerti. Ada waktu bagi hati untuk remuk, dan ada masa bagi jiwa untuk bangkit perlahan.
Aceh, dengan sejarah panjangnya, mengenal betul makna sabar. Dari konflik, tsunami, hingga banjir yang berulang, masyarakat Aceh belajar bahwa bertahan hidup bukan hanya soal membangun kembali rumah, tetapi juga menegakkan kembali harapan. Di pengungsian yang sempit, di malam tanpa listrik, dan di dapur umum yang sederhana, sabar menjelma menjadi solidaritas: berbagi makanan, saling menguatkan, dan menjaga senyum anak-anak agar tidak ikut tenggelam dalam trauma.
Menariknya, sabar tidak pernah datang sendiri. Ia selalu membawa janji tersembunyi: nikmat setelah kesempitan. Nikmat itu tidak selalu berupa harta yang kembali utuh atau rumah yang lebih megah. Kadang ia hadir dalam bentuk hati yang lebih lapang, iman yang lebih kuat, persaudaraan yang kian erat, dan kesadaran bahwa hidup bukan hanya tentang memiliki, tetapi tentang bertahan dan berbagi.
Musibah juga membuka mata kita terhadap banyak hal yang selama ini terabaikan. Tentang pentingnya kepemimpinan yang tanggap, kebijakan yang berpihak pada korban, serta pembangunan yang tidak mengorbankan alam. Di sinilah sabar harus berjalan beriringan dengan keberanian bersuara dan memperjuangkan keadilan. Sebab sabar sejati tidak membiarkan kesalahan berulang, melainkan mendorong perubahan agar penderitaan tidak terus diwariskan.
Pada akhirnya, mengenakan pakaian sabar bukan berarti meniadakan air mata. Ia justru mengajarkan bagaimana menangis tanpa kehilangan iman, mengeluh tanpa melupakan doa, dan terluka tanpa membenci takdir. Dari sabar itulah, perlahan nikmat akan menemukan jalannya—entah dalam bentuk pemulihan, kekuatan baru, atau hikmah yang kelak kita pahami di masa depan.
Karena hidup, sejatinya, bukan tentang bebas dari musibah. Hidup adalah tentang bagaimana manusia tetap manusiawi ketika musibah datang menimpa.