Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Ketika Bantuan Kemanusiaan Dianggap Ancaman: Aceh dan Negara yang Belum Belajar

Minggu, 28 Desember 2025 | 00:54 WIB Last Updated 2025-12-27T18:03:21Z

Ada yang salah dengan cara negara membaca Aceh.
Ketika rakyat bergerak mengantar bantuan kemanusiaan, negara justru sibuk menghitung bendera, bukan niat. Konvoi bantuan dengan Bendera Aceh diperlakukan seolah-olah sebuah deklarasi perlawanan, bukan ekspresi solidaritas. Di titik inilah kita harus jujur mengatakan: negara belum sepenuhnya berdamai dengan Aceh.

Apa yang sebenarnya ditakuti?
Apakah kain berwarna itu lebih berbahaya daripada penderitaan rakyat yang membutuhkan bantuan?
Simbol yang Ditakuti, Rakyat yang Dilupakan
Bendera Aceh selalu diletakkan dalam bingkai kecurigaan. Setiap ia berkibar, aparat refleks menegang, seolah konflik akan meledak kembali hanya karena simbol. Ini adalah cara berpikir lama—cara berpikir era darurat militer—yang seharusnya sudah dikubur bersama lembaran sejarah kelam Aceh.
Ironisnya, yang membawa bendera bukan pasukan bersenjata, melainkan warga sipil dengan logistik bantuan. Namun respon negara justru memperlihatkan bahwa trauma kekuasaan lebih dominan daripada empati kemanusiaan.

Aparat: Penjaga Negara atau Pemantik Konflik?
TNI dan Polri tidak salah menjaga hukum. Yang keliru adalah mempraktikkan hukum tanpa rasa. Ketika pendekatan keamanan diutamakan dalam misi kemanusiaan, aparat kehilangan legitimasi moral di mata rakyat.

Ketegangan yang muncul bukan disebabkan oleh konvoi bantuan, tetapi oleh reaksi berlebihan aparat. Negara lupa satu hal penting: keamanan sejati lahir dari kepercayaan, bukan dari intimidasi.
Jika setiap ekspresi Aceh dicurigai, maka aparat bukan sedang menjaga negara, tetapi sedang memperpanjang jarak historis antara Aceh dan Jakarta.
MoU Helsinki: Damai yang Setengah Hati
MoU Helsinki memang menghentikan perang, tetapi tidak sepenuhnya menghapus mentalitas perang. Senjata diturunkan, tetapi kecurigaan tetap diangkat. Inilah kegagalan paling sunyi dari proses perdamaian Aceh.

Selama simbol Aceh masih diperlakukan sebagai ancaman laten, selama ekspresi lokal masih ditafsirkan sebagai makar, maka damai itu hanyalah kesepakatan administratif, bukan rekonsiliasi batin.
Negara Harus Dewasa, Bukan Sensitif
Negara yang kuat tidak mudah tersinggung oleh simbol.
Negara yang percaya diri tidak takut pada identitas daerah.

Justru negara yang panik terhadap simbol menunjukkan ketidakmatangan politik.
Aceh tidak sedang menguji kesabaran negara. Negara-lah yang sedang diuji kematangannya dalam mengelola keberagaman pasca-konflik.
Jika Ini Terus Terjadi
Jika konvoi bantuan saja diperlakukan seperti ancaman keamanan, maka jangan heran bila kepercayaan publik kembali runtuh. Jangan salahkan rakyat bila mereka merasa damai hanya slogan, bukan kenyataan.

Sejarah Aceh telah membuktikan: pendekatan keras selalu gagal. Yang bertahan bukan kekuatan senjata, melainkan keadilan dan penghormatan.
Penutup: Jangan Main Api di Tanah Luka
Aceh bukan bara yang padam, tetapi luka yang belum sepenuhnya sembuh.
Memanaskan suasana di tengah misi kemanusiaan adalah tindakan paling ceroboh yang bisa dilakukan negara.
Jika negara ingin benar-benar menjaga keutuhan, maka berhentilah memusuhi simbol dan mulailah memulihkan kepercayaan.

Sebab di Aceh, yang berbahaya bukan bendera—melainkan ingatan kolektif yang kembali dikhianati.