Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Kuat di Media Sosial pada atasan, Lemah di Hadapan Derita Rakyat: Potret Kepemimpinan di Tengah Pengungsian

Minggu, 28 Desember 2025 | 01:02 WIB Last Updated 2025-12-27T18:04:08Z

Di zaman kamera lebih cepat daripada nurani, kepemimpinan sering kali diukur bukan dari seberapa banyak penderitaan yang diselesaikan, melainkan seberapa sering wajah muncul di layar. Di media sosial, oknum bupati tampak kuat, aktif, dan seolah selalu hadir. Namun di tenda-tenda pengungsian, rakyat masih berjuang sendirian melawan lapar, dingin, penyakit, dan ketidakpastian.

Inilah ironi kekuasaan hari ini: kuat di dunia digital, rapuh di dunia nyata.
Antara Status Facebook dan Tenda Pengungsian
Setiap hari media sosial dipenuhi unggahan pejabat daerah: kunjungan singkat, penyerahan simbolis bantuan, pernyataan penuh empati, dan janji pemulihan. Semua terlihat rapi, terkonsep, dan siap dikonsumsi publik. Namun di balik itu, realitas di lapangan berbicara lain.

Di pengungsian, ibu-ibu masih memasak dengan peralatan seadanya. Anak-anak tidur beralas tikar tipis di tengah udara lembap. Lansia menahan sakit tanpa akses layanan kesehatan yang memadai. Air bersih terbatas, bantuan tak merata, dan trauma psikologis nyaris tak tersentuh.

Pertanyaannya sederhana: ke mana perginya kekuatan yang ditampilkan di media sosial itu?
Bencana sebagai Panggung, Rakyat sebagai Figuran
Bencana hari ini terlalu sering dijadikan panggung pencitraan politik. Pengungsian berubah menjadi latar belakang foto. Rakyat menjadi figuran bisu dalam narasi keberhasilan pemerintah daerah. Kamera menyala, senyum ditebar, lalu rombongan pergi—meninggalkan tenda yang sama, masalah yang sama, dan penderitaan yang tak berkurang.

Kepemimpinan semacam ini tidak lahir dari empati, melainkan dari strategi citra. Yang dikelola bukan krisis, tetapi persepsi. Yang diutamakan bukan solusi, tetapi sudut pengambilan gambar.

Lebih menyedihkan lagi, kritik dari rakyat sering dibalas dengan narasi defensif: “Jangan politisasi bencana.” Padahal yang pertama kali mempolitisasi adalah mereka yang menjadikan bencana sebagai konten kekuasaan.

Rakyat Tidak Butuh Konten, Rakyat Butuh Keputusan
Rakyat di pengungsian tidak membutuhkan unggahan harian. Mereka tidak menunggu caption penuh doa. Yang mereka butuhkan adalah keputusan cepat, distribusi adil, dan kehadiran nyata yang berkelanjutan.

Pemimpin sejati tidak datang satu jam lalu pergi. Ia tinggal lebih lama. Ia mendengar lebih banyak. Ia bekerja dalam diam, bukan hanya di depan kamera. Ia memastikan logistik cukup, tenaga medis hadir, anak-anak kembali belajar, dan trauma ditangani secara serius.
Ketika seorang bupati lebih sibuk membangun citra digital daripada membangun sistem tanggap darurat yang manusiawi, maka yang terjadi adalah pengkhianatan halus terhadap mandat rakyat.

Kepemimpinan Tanpa Rasa adalah Kekuasaan yang Kosong
Jabatan bukan sekadar simbol administratif. Ia adalah amanah moral. Tanpa rasa, jabatan hanyalah kursi. Tanpa empati, kekuasaan hanya menjadi alat.
Aceh memiliki sejarah panjang tentang penderitaan. Rakyat Aceh terbiasa sabar, tetapi kesabaran bukan berarti kebodohan. Mereka tahu membedakan siapa yang bekerja dan siapa yang sekadar tampil.
Di tengah bencana, rakyat tidak menilai pemimpin dari seberapa sering ia muncul di media, tetapi dari seberapa lama ia bertahan di tengah penderitaan mereka.
Pengungsian Bukan Statistik, Tapi Kehidupan.

Sering kali laporan pemerintah mereduksi manusia menjadi angka: sekian ribu pengungsi, sekian paket bantuan, sekian posko didirikan. Namun di balik angka itu ada manusia dengan cerita, kehilangan, dan luka batin.
Anak yang kehilangan buku sekolahnya.
Ibu yang kehilangan dapur dan rasa aman.
Ayah yang kehilangan mata pencaharian.
Jika kebijakan hanya berhenti pada laporan dan unggahan, maka yang dilupakan adalah hakikat kemanusiaan.
Media Sosial dan Ilusi Kepemimpinan
Media sosial memang penting sebagai sarana informasi. Namun ketika ia menjadi tujuan utama, bukan alat, maka kepemimpinan berubah menjadi ilusi. Pemimpin merasa telah bekerja karena telah mengunggah. Publik dipaksa percaya bahwa masalah selesai karena telah dipublikasikan.

Padahal di pengungsian, waktu berjalan lambat. Setiap malam terasa panjang. Setiap hari penuh ketidakpastian. Dan setiap janji yang tak ditepati akan berubah menjadi kekecewaan yang menumpuk.
Rakyat Ingat, Sejarah Mencatat
Aceh punya memori kolektif yang panjang. Pemimpin yang gagal di masa krisis tidak akan diingat karena jabatannya, tetapi karena kelalaiannya. Rakyat boleh diam hari ini, tetapi ingatan mereka akan berbicara di kemudian hari.

Sejarah selalu berpihak pada mereka yang hadir di saat sulit, bukan pada mereka yang hanya hadir di saat kamera menyala.
Penutup: Turunlah dari Layar, Datanglah ke Luka.

Jika ingin disebut pemimpin, turunlah dari layar ponsel dan datanglah ke tenda pengungsian. Datang tanpa rombongan besar. Dengarkan tanpa kamera. Bekerja tanpa publikasi. Bertahan tanpa batas waktu kunjungan.
Karena di mata rakyat, pemimpin yang kuat bukan yang viral, melainkan yang berani menanggung penderitaan bersama rakyatnya.

Hari ini rakyat tidak sedang mencari siapa yang paling aktif di media sosial.
Mereka sedang mencari keadilan, keberpihakan, dan kepemimpinan yang nyata.

Dan jika itu tidak ditemukan, maka yang akan tersisa hanyalah satu kesimpulan pahit:
kekuasaan telah kehilangan rasa, dan rakyat kembali ditinggalkan dalam derita.