Ketika Air Surut, Luka Keluarga Baru Dimulai
Banjir Aceh 2025 bukan hanya peristiwa alam yang meninggalkan lumpur dan puing-puing. Ia adalah bencana keluarga. Ketika air perlahan surut, derita justru mulai mengendap—di ruang-ruang rumah yang hilang, di dapur yang tak lagi mengepul, dan di hati keluarga yang retak oleh kehilangan. Banjir mungkin hanya berlangsung beberapa hari, tetapi dampaknya bagi keluarga bisa bertahun-tahun, bahkan seumur hidup.
Dalam narasi kebencanaan, keluarga sering kali direduksi menjadi angka: sekian rumah terdampak, sekian jiwa mengungsi. Padahal keluarga adalah unit paling rapuh sekaligus paling menentukan dalam pemulihan pasca bencana. Ketika keluarga runtuh, masyarakat ikut goyah. Ketika keluarga bertahan, harapan masih punya tempat berpijak.
Rumah Hilang, Rasa Aman Ikut Tenggelam
Bagi banyak keluarga Aceh, rumah bukan sekadar bangunan. Ia adalah ruang ibadah, tempat anak belajar mengaji, dapur tempat ibu menanak harapan, dan halaman tempat ayah memupuk masa depan. Ketika banjir datang dan merobohkan rumah, yang runtuh bukan hanya dinding, tetapi rasa aman.
Pasca banjir, banyak keluarga hidup dalam ketidakpastian. Menumpang di rumah saudara, tinggal di tenda pengungsian, atau berpindah-pindah tanpa kepastian relokasi. Kondisi ini menekan psikologis keluarga, memicu konflik rumah tangga, dan melemahkan fungsi pengasuhan. Ayah merasa gagal melindungi, ibu kelelahan menjaga stabilitas emosi, anak-anak kehilangan rasa nyaman.
Krisis tempat tinggal adalah krisis keluarga. Tanpa rumah yang layak, keluarga kehilangan pusat kehidupannya.
Ayah Kehilangan Peran, Ibu Menanggung Beban Ganda
Banjir Aceh 2025 juga meluluhlantakkan sumber ekonomi keluarga. Sawah rusak, kebun hanyut, warung kecil terendam, ternak mati. Banyak kepala keluarga tiba-tiba kehilangan mata pencaharian. Dalam budaya Aceh, kondisi ini sangat memukul harga diri seorang ayah.
Ketika ayah kehilangan peran sebagai pencari nafkah, tekanan mental meningkat. Tidak sedikit yang memilih diam, memendam stres, bahkan melarikan diri dalam keputusasaan. Sementara itu, ibu memikul beban berlipat: mengurus anak, mengelola trauma keluarga, sekaligus mencari cara agar dapur tetap mengepul.
Di sinilah bencana menjadi pintu masuk keretakan keluarga. Pertengkaran meningkat, kekerasan dalam rumah tangga berpotensi muncul, dan anak-anak menjadi saksi konflik yang seharusnya tidak mereka pikul.
Anak-anak: Korban Sunyi Pasca Banjir
Dalam setiap bencana, anak-anak selalu menjadi korban paling sunyi. Pasca banjir Aceh 2025, ribuan anak kehilangan buku, seragam, bahkan sekolahnya. Proses belajar terhenti, rutinitas hancur, dan trauma membekas.
Namun luka anak bukan hanya soal pendidikan. Di pengungsian, mereka kehilangan ruang aman. Privasi hilang, risiko kekerasan meningkat, dan pengawasan melemah. Dalam keluarga yang tertekan, anak sering menjadi pelampiasan emosi atau justru diabaikan kebutuhannya.
Lebih mengkhawatirkan, tekanan ekonomi pasca banjir mendorong risiko putus sekolah, pekerja anak, dan pernikahan dini. Bencana alam perlahan berubah menjadi bencana sosial yang mengancam satu generasi.
Trauma yang Tidak Terlihat
Bencana keluarga pasca banjir tidak selalu kasat mata. Banyak keluarga tampak “selamat”, tetapi menyimpan trauma mendalam. Ibu yang takut hujan turun, ayah yang terbangun setiap malam, anak yang menangis saat mendengar suara air.
Sayangnya, pemulihan psikososial sering diabaikan. Bantuan fokus pada sembako dan logistik, sementara kesehatan mental dianggap urusan belakangan. Padahal tanpa pemulihan trauma, keluarga tidak pernah benar-benar pulih. Mereka hanya bertahan, bukan bangkit.
Perempuan dan Lansia: Kelompok Rentan dalam Keluarga
Dalam bencana keluarga, perempuan dan lansia berada di posisi paling rentan. Perempuan sering kehilangan akses kesehatan reproduksi, menghadapi risiko kekerasan, dan menanggung beban pengasuhan tanpa dukungan. Lansia, dengan keterbatasan fisik, sering terabaikan dalam distribusi bantuan dan proses evakuasi.
Ketika keluarga tidak kuat, kelompok rentan ini yang pertama kali jatuh. Dan ketika mereka jatuh, martabat kemanusiaan Aceh ikut tercoreng.
Negara Hadir Saat Banjir, Pergi Saat Pemulihan
Salah satu ironi terbesar pasca banjir Aceh 2025 adalah kehadiran negara yang timpang. Saat bencana, pejabat datang, kamera menyala, bantuan simbolik diserahkan. Namun saat fase pemulihan keluarga dimulai—rehabilitasi rumah, pemulihan ekonomi, pendampingan psikologis—negara perlahan menghilang.
Padahal, bencana keluarga tidak bisa diselesaikan dengan bantuan sesaat. Ia membutuhkan kebijakan berkelanjutan: hunian layak, jaminan sosial, perlindungan anak, dan pemulihan ekonomi berbasis keluarga.
Peran Gampong dan Solidaritas Sosial
Di tengah keterbatasan negara, Aceh masih punya kekuatan: gampong dan solidaritas sosial. Banyak keluarga bertahan karena gotong royong warga, dukungan meunasah, dan kepedulian sesama. Inilah warisan sosial Aceh yang tidak boleh hilang.
Namun solidaritas rakyat tidak boleh dijadikan alasan pembiaran oleh negara. Gotong royong adalah kekuatan, bukan pengganti tanggung jawab pemerintah.
Bencana Keluarga dan Akar Masalah Lingkungan
Tidak bisa dipungkiri, bencana keluarga ini berakar pada kerusakan lingkungan. Hutan dibabat, sungai disempitkan, tata ruang diabaikan. Ketika alam rusak, keluarga menjadi korban pertama.
Maka melindungi keluarga berarti melindungi alam. Pencegahan banjir adalah perlindungan keluarga jangka panjang. Setiap izin yang merusak lingkungan sejatinya adalah ancaman terhadap rumah tangga rakyat.
Menuju Pemulihan Berbasis Keluarga
Pemulihan pasca banjir Aceh 2025 harus berorientasi pada keluarga. Negara perlu mengubah paradigma dari sekadar tanggap darurat menuju perlindungan keluarga berkelanjutan. Hunian layak, pemulihan ekonomi keluarga, layanan kesehatan mental, perlindungan anak, dan pemberdayaan perempuan harus menjadi satu paket kebijakan.
Aceh tidak kekurangan regulasi, tetapi sering kekurangan keberpihakan. Qanun dan nilai keislaman seharusnya menjadikan perlindungan keluarga sebagai prioritas moral dan politik.
Menyelamatkan Aceh Dimulai dari Keluarga
Banjir Aceh 2025 mengajarkan satu pelajaran pahit: ketika keluarga hancur, Aceh kehilangan masa depan. Sebaliknya, ketika keluarga dipulihkan, Aceh memiliki harapan.
Bencana keluarga pasca banjir bukan takdir yang harus diterima. Ia adalah peringatan keras agar negara, elit, dan masyarakat bercermin. Sebab membangun Aceh tidak dimulai dari gedung megah atau proyek besar, tetapi dari satu ruang kecil bernama keluarga—tempat manusia pertama kali belajar tentang cinta, ketahanan, dan martabat.
Jika keluarga Aceh diselamatkan hari ini, maka esok Aceh akan berdiri lebih kuat. Jika tidak, banjir mungkin surut, tetapi kehancuran akan diwariskan diam-diam kepada generasi berikutnya.
Penulis AZHARI