Banjir besar yang melanda Aceh pada akhir tahun 2025 menyisakan tragedi kemanusiaan yang sangat memilukan. Ribuan rumah hancur, sebagian hanyut tersapu arus, sebagian tertimbun lumpur dan material longsor dari pegunungan. Dalam hitungan jam, permukiman yang sebelumnya dipenuhi kehidupan berubah menjadi hamparan puing berselimut lumpur. Teriakan minta tolong, tangis kehilangan, dan aroma kesedihan memenuhi udara di posko-posko pengungsian.
Di tengah puing-puing itu, muncul satu pertanyaan mendasar yang meresah dan harus dijawab oleh negara:
Pasca banjir ini, rakyat Aceh harus ke mana ketika rumah tempat mereka berlindung telah hilang tanpa jejak?
Pertanyaan itu bukan retorika, bukan keluhan manja, tetapi jeritan dari keluarga yang kini tidur di tenda darurat, menggigil di angin malam, mengandalkan makanan siap saji sekedar untuk bertahan. Rumah yang selama ini menjadi simbol stabilitas dan martabat manusia, kini berubah menjadi sejarah yang menyakitkan.
Rumah yang Hilang, Masa Depan yang Runtuh
Bagi sebagian besar masyarakat, rumah bukan sekadar bangunan fisik. Ia adalah ruang kehidupan:
tempat anak-anak tumbuh, tempat keluarga berbagi cerita, tempat menemukan kenyamanan, dan tempat kembali setelah lelah bekerja. Ketika rumah hilang, separuh jiwa juga ikut hilang.
Hari ini, ribuan keluarga di Aceh tidak memiliki tempat untuk pulang. Mereka tidak lagi memiliki kamar, dapur, atau ruang berkumpul. Tidak ada buku sekolah, tidak ada pakaian yang tersisa, tidak ada dokumen penting yang bisa diselamatkan. Banyak orang tua memandang masa depan dengan mata kosong—tak tahu dari mana harus memulai lagi.
Saat Negara Tidak Boleh Hanya Menyaksikan
Pemerintah memang telah bergerak dalam fase tanggap darurat: evakuasi, logistik, posko kesehatan, dan penanganan sementara. Relawan, TNI, Polri, mahasiswa, dan masyarakat sipil bahu-membahu menyelamatkan jiwa.
Namun setelah fase darurat, hadir tantangan jauh lebih besar:
Bagaimana memastikan rakyat memiliki tempat tinggal kembali dan hak hidup yang layak?
Pemerintah pusat dan daerah wajib segera menyiapkan kebijakan strategis yang terukur dan transparan:
1. Penyediaan Hunian Sementara (Huntara) yang Layak
Bukan tenda yang bocor bila hujan turun, bukan tempat sempit tanpa sanitasi.
2. Bantuan Membangun Rumah Permanen
Skema yang jelas, bukan janji politis saat kamera media menyorot.
3. Kepastian Status Lahan
Banyak korban kehilangan bukan hanya rumah, tapi juga tanah akibat longsor dan geseran dasar sungai.
4. Rehabilitasi Psikologis
Anak-anak kehilangan memori masa kecil, orang tua kehilangan rasa aman. Trauma healing harus menjadi prioritas.
5. Transparansi Anggaran dan Bantuan
Tidak boleh ada celah bagi proyek bencana berubah menjadi ajang korupsi.
Dalam negara beradab, korban bencana bukan objek belas kasihan—mereka adalah warga negara yang harus dilindungi martabat dan hak hidupnya.
Bencana Bukan Sekadar Musibah Alam
Kita harus jujur mengakui bahwa banjir ini tidak lahir dari hujan semata. Ini adalah akumulasi dari kesalahan manusia dan kebijakan yang lalai menjaga keseimbangan alam.
Aceh memiliki catatan deforestasi mengkhawatirkan dalam beberapa tahun terakhir. Hutan-hutan yang menjadi benteng alam melawan banjir telah ditebang tanpa kontrol. Pegunungan dilubangi, sungai dipersempit, dan lahan ditimbun demi proyek yang menguntungkan segelintir kelompok. Ketika pohon habis, tanah kehilangan penjaga, dan air mengamuk tanpa penghalang.
Maka, banjir Aceh adalah peringatan keras dari Allah SWT dan alarm bagi pemerintah yang terlalu lama membiarkan keserakahan menguasai ruang publik.
Generasi Muda, Jangan Diam
Setiap tragedi melahirkan pilihan:
menangis dan menunggu, atau bangkit dan bergerak.
Generasi muda Aceh hari ini menyaksikan luka besar—luka yang harus menjadi energi perubahan.
Mereka harus menjadi suara yang menolak pembabatan hutan, mengawal tata ruang, dan memastikan pemerintah bertindak untuk kepentingan rakyat, bukan oligarki.
Karena kalau bukan sekarang, kapan lagi?
Kalau bukan kita, siapa lagi?
Bangsa yang Besar Adalah Bangsa yang Tidak Membiarkan Rakyatnya Tinggal di Tenda
Bangkit dari bencana bukan sekadar membangun beton dan tembok baru.
Bangkit berarti membangun harapan.
Rakyat Aceh tidak meminta kemewahan. Mereka hanya meminta hal paling dasar sebagai manusia:
rumah untuk berteduh,
tanah untuk berpijak,
sekolah untuk anak-anak,
jaminan bahwa pemerintah tidak akan meninggalkan mereka sendirian.
Negara harus hadir bukan hanya saat kamera menyala, tetapi saat air mata rakyat jatuh sunyi di posko pengungsian.
Penutup: Aceh Tidak Boleh Sendiri
Air memang menghanyutkan rumah-rumah itu, tetapi jangan biarkan ia menghanyutkan harapan.
Lumpur mungkin mengubur bangunan, tetapi jangan biarkan ia mengubur masa depan.
Hari ini adalah momentum persatuan nasional:
- Pemerintah pusat, daerah, dan legislatif harus bekerja tanpa drama politik.
- Dunia usaha harus ikut membantu.
- Akademisi harus mengawal kebijakan berbasis riset.
- Media harus terus mengingatkan dan mengawasi.
- Masyarakat Indonesia harus bahu-membahu.
Karena korban banjir Aceh bukan hanya tanggung jawab Aceh
—mereka adalah tanggung jawab kita sebagai bangsa.
Aceh akan bangkit. Indonesia harus berdiri bersama.
Tidak ada yang ditinggalkan. Tidak ada yang dibiarkan sendiri.
Penulis:
Azhari