Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Refleksi Banjir Aceh 26 November 2025 dan Gerakan Rakyat Menjaga Hutan

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:00 WIB Last Updated 2025-12-17T16:00:45Z



Banjir besar yang melanda Aceh pada 26 November 2025 bukan sekadar peristiwa alam. Ia adalah cermin—memantulkan kesalahan kolektif kita dalam memperlakukan hutan. Air datang bukan tiba-tiba; ia dikirim oleh lereng yang gundul, sungai yang dipersempit, dan izin-izin yang dilepas tanpa nurani. Di hari itu, hutan berbicara dengan bahasa paling keras: bencana.

Aceh dianugerahi hutan yang luas dan kaya. Namun dalam beberapa tahun terakhir, hutan kian diperlakukan sebagai komoditas, bukan penyangga kehidupan. Pembalakan, pembukaan lahan, dan eksploitasi atas nama investasi telah melemahkan daya serap alam. Ketika hujan turun, tanah tak lagi memeluk air—ia melepaskannya sekaligus, menghantam desa-desa di hilir.

Refleksi pasca banjir menuntut kejujuran. Kita terlalu sering menyalahkan cuaca ekstrem, seakan alam berdosa. Padahal, bencana ini adalah hasil dari kebijakan yang permisif dan pengawasan yang longgar. Hutan yang seharusnya menjadi benteng berubah menjadi korban. Dan korban terakhirnya adalah rakyat: rumah rusak, sawah tenggelam, anak-anak trauma.

Namun di tengah duka, muncul harapan: gerakan rakyat menjaga hutan. Dari gampong ke gampong, warga mulai menanam kembali, menjaga mata air, menolak pembukaan lahan serampangan, dan melaporkan perusakan. Ini adalah kebangkitan kesadaran ekologis—bahwa keselamatan tidak datang dari beton semata, melainkan dari pohon yang berdiri tegak.

Gerakan rakyat ini harus dipelihara, bukan dipadamkan. Negara dan pemerintah daerah wajib berpihak: menegakkan hukum lingkungan tanpa pandang bulu, mencabut izin bermasalah, dan memperkuat peran masyarakat adat sebagai penjaga hutan. Perlindungan hutan bukan agenda LSM semata; ia adalah kebijakan publik yang menentukan hidup-mati rakyat.

Aceh memiliki nilai adat dan keislaman yang kuat—keduanya menempatkan alam sebagai amanah. Menjaga hutan berarti menjaga titipan Allah dan warisan untuk anak cucu. Qanun, mukim, dan gampong seharusnya menjadi pilar perlindungan ekologis, bukan sekadar ornamen regulasi.

Banjir 26 November 2025 harus menjadi titik balik. Kita tak boleh menunggu banjir berikutnya untuk bertindak. Rehabilitasi hutan, tata ruang yang adil, dan partisipasi rakyat adalah satu kesatuan. Jika hutan pulih, sungai akan jinak, dan desa akan aman.

Pada akhirnya, perlindungan hutan adalah perlindungan kehidupan. Gerakan rakyat menjaga hutan adalah doa yang diwujudkan dalam tindakan. Dan dari hutan yang dijaga itulah, Aceh bisa berharap: hujan turun sebagai berkah, bukan bencana.


Penulis AZHARI