Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Tayangan dan Tantangan Zaman di Era Digital Pasca Banjir dalam Dunia Pendidikan

Selasa, 23 Desember 2025 | 00:02 WIB Last Updated 2025-12-22T17:02:28Z
Pasca banjir, rumah-rumah di Aceh tidak hanya kehilangan dinding dan perabot. Banyak keluarga juga kehilangan ruang belajar yang tenang bagi anak-anak mereka. Buku hanyut, seragam basah, gawai rusak, dan jaringan internet terputus. Namun, di tengah keterbatasan itu, arus tayangan digital justru mengalir tanpa henti—masuk ke ruang keluarga, ke tenda pengungsian, bahkan ke kesadaran anak-anak kita.
Di era digital, tayangan bukan lagi sekadar hiburan. Ia telah menjadi guru kedua—bahkan kadang guru utama—bagi anak-anak. Sayangnya, tidak semua tayangan mendidik. Pasca banjir, ketika orang tua sibuk memulihkan ekonomi dan membangun kembali rumah, anak-anak lebih lama berhadapan dengan layar: video pendek, konten sensasional, dan tontonan instan yang miskin nilai.
Keluarga berada di garis terdepan menghadapi tantangan ini. Di saat sekolah belum sepenuhnya pulih dan fasilitas pendidikan masih terbatas, peran orang tua menjadi semakin berat. Mereka dituntut bukan hanya menyediakan makan dan tempat berteduh, tetapi juga menjadi penyaring nilai, pendamping belajar, dan teladan moral di tengah derasnya informasi digital.
Banjir telah mengajarkan satu hal penting: pendidikan tidak hanya berlangsung di ruang kelas. Ia hidup di ruang keluarga. Cara orang tua berbicara, memilih tayangan, mengelola emosi, dan menyikapi musibah menjadi pelajaran nyata bagi anak-anak. Ketika orang tua tenggelam dalam keputusasaan, anak belajar takut. Ketika orang tua memilih sabar dan bangkit, anak belajar harapan.
Tantangan pendidikan pasca banjir bukan semata soal infrastruktur, tetapi juga soal arah. Apakah dunia digital akan menjadi alat pemulihan atau justru sumber kerusakan karakter? Tanpa pendampingan keluarga, tayangan digital berpotensi menanamkan budaya instan, melemahkan daya juang, dan menjauhkan anak dari nilai-nilai kemanusiaan dan spiritualitas.
Karena itu, keluarga perlu mengambil kembali kendali. Membatasi tayangan, memilih konten edukatif, menghidupkan kembali cerita, membaca bersama, dan berdialog sederhana tentang musibah dan kehidupan. Pendidikan karakter bisa tumbuh dari kisah banjir itu sendiri—tentang solidaritas, gotong royong, dan makna syukur.
Dunia pendidikan pasca banjir membutuhkan sinergi: sekolah yang pulih, negara yang hadir, dan keluarga yang kuat. Tanpa keluarga yang sadar dan berdaya, secanggih apa pun teknologi hanya akan menjadi layar kosong yang menjauhkan anak dari jati dirinya.
Pada akhirnya, banjir boleh merusak bangunan, tetapi jangan sampai meruntuhkan masa depan. Di tengah tayangan dan tantangan zaman, keluarga adalah benteng terakhir pendidikan—tempat nilai ditanamkan, harapan dibesarkan, dan generasi Aceh diselamatkan.