Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Pantai Meuraksa Sabtu Tanggal 22 Maret 1873.

Minggu, 19 September 2021 | 22:01 WIB Last Updated 2021-09-19T15:01:22Z
Jauh ditengah-tengah laut yang berpantai ke Bandar Aceh Darussalam, bagaikan ditepi langit, nampaklah oleh penduduk empat kapal api, yang mengambil haluan tepat menuju tanjung tanah Aceh yang disebelah Utara. Bagaikan tabuhan terkejut, lalu terbang berkeliling bercerai-berai meninggalkan sarangnya karena diganggu, penduduk kota berhamburan keluar rumah, lalu lari berduyun-duyun ke tepi laut.

Dari beberapa mulut keluarlah teriakan, “Habib datang! Tentara Turki menyertai kita!”

Keempat kapal tersebut disangka membawa Habib Abdurrahman yang pulang dari Istambul, sambil membawa bala bantuan Turki untuk Aceh. Dalam meninjau menilik-nilik ke tepi langit itu suara orang banyak bergalaulah, masing-masing hendak mengemukakan pendapatnya. Berjenis-jenis pula rupanya laskar liar yang datang berduyun-duyun dengan alat senjatanya, masing-masing siap dengan lembing dan rudusnya. Angkatan Perang Aceh berhasrat hendak menyingsing bala bantuan itu secara layakanya orang menerima tamu yang terhormat.

Setelah lama dan menantikan dengan memasang-masang nama, keluar pulalah teriakan baharu dari segala pihak : “Belanda! Yang datang itu kapal Belanda, bukan kapal Turki!”

Bunyi teriakan itu sambung-menyambung pula. Ada yang terkejut, ada yang ketakutan, ada yang kecewa dan tidak kurang pula yang menyatakan kegemasannya.

“Belanda! Belanda datang!” Demikian pula terdengar teriakan orang banyak dijalan-jalan, mereke meninggalkan tepi pantai, mencari jalan pulang. Kebanyakan khawatir, kalau-kalau kedatangan Belanda menjadikan pertumpahan darah, jika telah sampai kesana maka kewajiban masing-masing laki-laki ialah menentukan keadaan anak-anak dan para wanita serta orang tua yang tinggal di rumah. Jadi terpaksalah mereka meninggalkan tepi pantai terlebih dahulu, meskipun kebanyakan diantara yang membawa senjata telah ridha dan setia untuk mempertahankan tanah airnya dari perkosaaan orang kafir.

Tidak salah! Tiga buah kapal perang dan sebuah kapal “kumpeni”. Masing-masing mengibarkan bendera Belanda diujung-ujung tiangnya, bendera tiga warna, yang telah lama menyakiti hati orang Aceh. Keempat kapal terkutuk itu tidaklah berlabuh di pelabuhan yang biasa, melainkan membuang jangkar di sebelah Barat sungai Aceh, yaitu di dekat beberapa buah benteng pertahanan pantai, yang ada di daerah kekuasaan Teuku Nek. Di kemudian hari, diketahuilah keempat kapal itu barulah perambah jalan saja. Angkatan laut Belanda yang secukupnya datang pulalah menyertai mereka lima belas hari kemudian.

Salah satu dari kapal perang itu ialah kapal perang “Citadel van Antwerpen”. Di atas kapal tersebut adalah menumpang Nieuwenhuyzen, yang memegang jabatan Utusan Pemerintah Belanda ketika itu. Ditangannya, ia membawa sehelai naskah yang berasal dari Pemerintah Belanda, yang menentukan perang atau damainya antara orang Aceh dan orang Belanda. Nieuwenhuyzen mendapat tugas lebih dahulu melakukan “segala daya upaya yang penghabisan” buat mencari kata damai dengan Sultan Aceh. Tapi jika segala ikhtiarnya sia-sia, maka wajiblah ia menyerahkan naskah ini ketangan Sultan Aceh. Isi naskah tersebut adalah pernyataan perang pihak pemerintah Belanda kepada Kesultanan Aceh.

“Daya upaya yang penghabisan” yang hendak dilakukan oleh komisaris Nieuwenhuyzen itu adalah berupa berbalas-balasan surat dengan Dalam. Didalam surat menyurat itu diceritakan “apa sebab” dan “oleh karena itu”. Dan disesali pula tentang aksi-aksi dibawah tanah terhadap orang Belanda, yang telah dilakukan oleh Orang Aceh di Singapura, sambil bermain mata dengan orang Inggris dan Amerika! Selain daripada itu, dipersalahkan dan diupat pula orang Aceh, karena mereka telah mendukung penyamunan dan pembajakan laut, khususnya ditujukan kepada saudagar-saudagar Belanda yang tidak bersalah. Sultan Aceh diupat dan dipersalahkan telah menggunakan kekuasaannya yang bersandarkan kepada kedaulatan rakyat Aceh secara sesuka-suka, sehingga tindakannya telah merugikan saudagar-saudagar Belanda. Banyak lagi kesalahan-kesalahan orang Aceh kepada Belanda yang dikemukakan Nieuwenhuyzen dalam surat-suratnya kepada Sultan Aceh.

Sultan Aceh memberi pula keterangan dan penjelasan yang membantah. Sultan memberi alasan yang cukup atas kejadian-kejadian yang digunakan menjadi tuduhan tersebut. Pendeknya, Dalam tidak mau mengaku salah, karena tidak merasa bersalah, banyak pula mengemukakan “karena itu” sebagai jawaban “sebab apa” dan “mengapa” yang keluar dari pihak Nieuwenhuyzen.

Pekerjaan berbalas-balasan surat itu diselenggarakan oleh sebuah sekoci Belanda, yang mondar-mandir berdayung antara kapal “Citadel” dengan Dalam. Surat-surat itu dibawa oleh Said Thahir, seorang bangsa Melayu, yang diangkat oleh Belanda sebagai perantara dalam mencari kata “damai” dengan Sultan Aceh. Said Thahir adalah seorang Melayu terkemuka, dahulu ia membuka perniagaan besar di tanah Aceh, dan berhubungan karib dengan raja-raja Aceh yang mendiami segala pelabuhan di kerajaan itu. Sekarang ia menjadi kaki tangan Belanda.

Pekerjaan mondar-mandir membawa surat antara “Citadel” dengan Dalam sangat berbahaya, suasana telah genting. Terlihat yang dicari oleh Belanda bukan kata damai, nyata sikap Belanda hanya mencari retak permasalahan. Di jalan-jalan sampai pantai, laskar liar Aceh telah Nampak berbondong-bondong membawa senjata. Pertumpahan darah sewaktu-waktu pasti akan terjadi, dan orang Aceh telah siap menantikannya.

Bahaya yang senantiasa mengancam Said Thahir, memanglah tidak kecil. Bukan saja karena namanya sudah kurang baik di dalam kalangan orang Aceh, karena ia telah menjadi “budak Belanda”, tapi sekalian orang mengetahui pula perhubungan Said Thahir dengan Melela, seorang Melayu yang tinggal di Meuraksa. Seorang kaki tangan Teuku Nek di Meuraksa. Tak heran, jika Said Thahir tidak lepas-lepas dari pengamatan orang Aceh. Darah mereka senantiasa mendidih, tiap Said Thahir datang ke Dalam membawa surat Nieuwenhuyzen, yang hanya mengandung tuduhan-tuduhan belaka. Demikianlah genting dan hangat suasana saat itu.

Pada suatu ketika, tengah malam buta, ketika hari gelap gulita, maka meluncurlah diam-diam sebuah sampan dari rawa Muara Cangkoi, lalu menuju ketempat kepal-kapal Belanda berlabuh. Akhirnya sampan itu merapat pada kapal “Citadel”. Penumpangnya adalah Melela, yang berkata ia membawa surat-surat penting untuk tuan komisaris, yang memegang tampuk “perang” atau “damai” ditangannya.

Surat yang diserahkan oleh Melela ketangan Nieuwenhuyzen itu berupa sebuah sampul besar, yang memakai cap kebesaran Uleebalang Teuku Nek. Di dalam surat itu, Nek mengatakan dengan segala perkataan manis, bahwa ia berhasrat hendak menyatakan rasa persahabatan karibnya kepada “Kumpeni”, yang diketahuinya bersifat adil, pengasih dan penyayang. Nek menyatakan keikhlasan dan ketulusan hatinya kepada Pemerintah Belanda. Cara Belanda menjalankan pemerintahannya, demikain kata Nek, sangat disetujuinya dan ia mengharapkan Belanda itu akan dilakukan pula dan dikekalkan di tanah Aceh.

Selanjutnya Nek memohonkan, “dari ujung sepatu Belanda sampai puncak topinya”, agar orang kampung Meuraksa dipelihara dan dilindungi oleh tentara Belanda, bilamana peperangan antara Belanda dan Aceh sampai meletus juga. Karena kampung Meuraksa adalah didiami oleh orang-orang tani dan nelayan yang ingin hidup damai. Sesekali orang Meuraksa jangan dibawa-bawa, karena mereka memang jijik akan perang dan tidak hendak ikut campur dalam persengkataan Aceh.

Dan buat penutup Nek memohon pula “kebawah duli” yang dipertuan komisaris yang sedang berlabuh di muka Meuraksa dengan kapal-kapal perangnya, lengkap juga dengan meriam-meriamnya, agar warakat yang tidak sepertinya itu mendapat balasan, walaupun satu patah kata, dtuliskan diatas secarik kertas. Jika balasannya diterima, kelak Nek akan merundingkan tentang takluknya Aceh dengan tidak bersyarat kepada Pemerintah Belanda dengan sekalian pembesar-pembesar Aceh yang sama percaya dan sama mengandung rasa perendahan terhadap orang Belanda.

Komisaris Nieuwenhuyzen sangat gembira menerima surat semacam itu dari seorang Uleebalang, yang diketahuinya berpangkat besar. Hanya ia ragu atas kejujuran Nek. Nieuwenhuyzen telah banya mendengar tentang “kelicinan” dan “kecerdikan” orang Aceh. Terutana mereka yang telah menjadi diplomat. Diplomat Aceh di Singapura telah berhasil menghasut Inggris dan Amerika, sehingga hampir campur tangan dalam pertikaian Belanda dan Aceh. Untung bagi Belanda, dengan segala kebijaksanaan sambil menunjukkan “budi tahu mengambil dan tahu memberi” mereka dapat menghindarkan bahaya percampuran kedua Negara kuat tersebut. Maka tak heran Nieuwenhuyzen ragu atas kejujuran kata Teuku Nek yang bermulut manis itu.

Nieuwenhuyzen tidak mengetui adanya persengketaan antara Mukim VI dengan Meuraksa. Tidak pula diketahui di pedalaman Aceh itu tidak habis-habisnya sengketa. Nieuwenhuyzen terlalu percaya diri dengan kekuatan angkatan perang Belanda dan memilih tidak menggunakan “Politik Memecah lalu Memerintah” (verdeel en heers systeem). Surat Nek itu dibalasnya dengan manis pula, tapi ditutup dengan perkataan orang Belanda “netral” dalam persengketaan orang Aceh dengan orang Aceh. Mereka kembali kepada Teuku Nek dengan tangan hampa.

Maka segala sudah damai telah mengalami jalan buntu. Satu-satunya jalan yang terbuka bagi Nieuwenhuyzen adalah menyuruh Said Thahir pergi ke Dalam, membawa surat penyataan perang dari Pemerintah Belanda kepada Kesultanan Aceh. Keputusan Nieuwenhuyzen jatuh pada tanggal 26 Maret 1873.

Untuk mencapai Dalam, ketika menginjak daratan Aceh. Said Thahir harus melalui Meuraksa, daerah Teuku Nek. Disana ia bukan disambut oleh pengiring Nek lagi, melainkan oleh Angkatan Perang Nanta Setia, yang telah menduduki pantai daerah pemerintahan Nek itu. Segala benteng-benteng telah ada dibawah kekuasaan Nanta. Tapi meskipun demikian, naskah yang berisi pernyataan perang dari pihak Belanda, sampai juga di Dalam. Hanya Nieuwenhuyzen tidak sampai menerima balasan yang akan bersejarah dari Sultan Mahmud, putera almarhum Sulaiman yang belum baliq.

Meskipun Said Thahir tidak membawa balasan dari Dalam, tapi selama ia berada di Meuraksa, agak banyak juga pendengarannya tentang keadaan suasana di Aceh. Ia mendengar bahwa beberapa orang penasihat Sultan yang ternama, didalam batin setuju kepada penyerahan kedaulatan Aceh kepada Belanda. Kabar yang dibawa Said Thahir itu sebenarnya membuka kemungkinan bagi Belanda untuk menangguk di air keruh, sebelum perang berkobar. Tapi pernyataan perang telah sampai ke Dalam, maka Nieuwenhuyzen sudah tidak dapat berbuat sesuatu apapun lagi. Nasi telah menjadi bubur!

Akan tetapi banyak pula pahlawan-pahlawan Aceh  yang “berpantang tunduk” kepada Belanda. Mereka taat kepada pembesar-pembesar Kesultanan Aceh yang masyur gagah beraninya, dan telah memaksa Uleebalang Nek menyerahkan benteng-benteng pertahanannya di pantai, kepada mereka.

Maka gemetarlah angkasa, karena gemuruh suara pucuk-pucuk meriam, yang dipasang pada ketiga kapal perang Belanda. Meriam-meriam itu memuntahkan pelurunya ke arah daratan Aceh. Disekalian benteng-benteng Aceh yang ada di pantai-pantai tembakan meriam itu disambut dengan sorak dan tempik gemuruh. Maka berkibarlah bendera-bendera merah, berlukiskan ( Bulan sabit dan pedang ) disegala benteng itu. Istanapun tidaklah ketinggalan. Disana dinaikkan pula bendera perang, alamat pernyataan perang dari Belanda diterima dengan keteguhan hati.

sumber 
Fb
atjeh Darussalam