Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Refleksi tahun 2025 perdamaian Aceh

Rabu, 26 Februari 2025 | 10:08 WIB Last Updated 2025-02-26T03:08:54Z

Pada tahun 2025, Aceh akan memperingati dua dekade perdamaian sejak penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki pada 15 Agustus 2005. Perjanjian ini mengakhiri konflik bersenjata yang telah berlangsung selama hampir tiga dekade antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dua puluh tahun perdamaian ini menjadi momen refleksi untuk menilai pencapaian, tantangan, dan langkah ke depan dalam menjaga dan memperkuat perdamaian di Aceh.

Latar Belakang Konflik dan Perdamaian di Aceh

Konflik di Aceh bermula pada akhir tahun 1970-an, dipicu oleh ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah pusat yang dianggap tidak adil dalam pengelolaan sumber daya alam dan pembangunan di Aceh. Situasi ini memicu perlawanan dari GAM yang menuntut kemerdekaan Aceh. Selama hampir 30 tahun, konflik ini menyebabkan ribuan korban jiwa, kerugian materiil yang signifikan, dan trauma sosial yang mendalam bagi masyarakat Aceh.

Upaya perdamaian akhirnya mencapai puncaknya dengan penandatanganan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005. Perjanjian ini difasilitasi oleh mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari, dan melibatkan berbagai pihak internasional. MoU Helsinki mengatur berbagai aspek, termasuk penarikan pasukan militer Indonesia dari Aceh, perlucutan senjata GAM, serta pemberian otonomi khusus bagi Aceh. Implementasi perjanjian ini diawasi oleh Aceh Monitoring Mission (AMM) yang terdiri dari perwakilan negara-negara ASEAN dan Uni Eropa.

Pencapaian Selama Dua Dekade Perdamaian

Selama 20 tahun terakhir, Aceh telah mengalami berbagai kemajuan signifikan sebagai hasil dari proses perdamaian. Beberapa pencapaian utama meliputi:

1. Stabilitas Keamanan

Pasca penandatanganan MoU Helsinki, situasi keamanan di Aceh berangsur membaik. Kekerasan bersenjata yang sebelumnya menjadi pemandangan sehari-hari kini telah berkurang drastis. Masyarakat dapat menjalani aktivitas sehari-hari dengan rasa aman, dan pembangunan dapat berjalan tanpa gangguan berarti.

2. Pembangunan Infrastruktur

Perdamaian membuka jalan bagi percepatan pembangunan infrastruktur di Aceh. Berbagai proyek pembangunan jalan, jembatan, fasilitas kesehatan, dan pendidikan telah direalisasikan. Pemerintah pusat dan daerah bekerja sama dengan berbagai lembaga internasional untuk membangun kembali Aceh, terutama setelah bencana tsunami pada tahun 2004 yang menghancurkan sebagian besar wilayah pesisir.

3. Pertumbuhan Ekonomi

Dengan stabilitas yang terjaga, iklim investasi di Aceh menjadi lebih kondusif. Sektor pertanian, perikanan, dan pariwisata menunjukkan pertumbuhan yang positif. Selain itu, pengelolaan sumber daya alam seperti minyak dan gas dilakukan dengan lebih transparan, memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan daerah.

4. Penguatan Otonomi Daerah

Salah satu poin penting dalam MoU Helsinki adalah pemberian otonomi khusus bagi Aceh. Hal ini memungkinkan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengelola urusan internalnya dengan lebih leluasa, termasuk dalam hal penerapan syariat Islam dan pengelolaan sumber daya alam. Pemerintah Aceh juga memiliki kewenangan lebih dalam mengatur pendapatan dan belanja daerah, yang digunakan untuk kesejahteraan masyarakat.

5. Rekonsiliasi Sosial

Upaya rekonsiliasi antara mantan kombatan GAM dan masyarakat sipil terus dilakukan. Program reintegrasi sosial dan ekonomi bagi mantan kombatan telah membantu mereka kembali ke masyarakat dan berkontribusi dalam pembangunan. Selain itu, berbagai inisiatif dialog antar komunitas telah memperkuat kohesi sosial dan mencegah potensi konflik di masa depan.

Tantangan yang Masih Dihadapi

Meskipun berbagai pencapaian telah diraih, Aceh masih menghadapi sejumlah tantangan dalam menjaga dan memperkuat perdamaian. Beberapa di antaranya adalah:

1. Kesenjangan Ekonomi

Meskipun pertumbuhan ekonomi meningkat, kesenjangan antara daerah perkotaan dan pedesaan masih terasa. Beberapa wilayah pedesaan belum merasakan manfaat pembangunan secara merata, sehingga diperlukan upaya lebih untuk memastikan distribusi kesejahteraan yang adil.

2. Pengangguran dan Kemiskinan

Tingkat pengangguran dan kemiskinan di Aceh masih menjadi perhatian. Pemerintah daerah perlu menciptakan lebih banyak lapangan kerja, terutama bagi generasi muda, dan mengembangkan program pemberdayaan ekonomi yang efektif untuk mengurangi angka kemiskinan.

3. Korupsi dan Tata Kelola Pemerintahan

Isu korupsi masih menjadi tantangan serius yang dapat menghambat pembangunan dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Peningkatan transparansi, akuntabilitas, dan penegakan hukum yang tegas diperlukan untuk memberantas praktik korupsi di semua tingkatan pemerintahan.

4. Penegakan Hak Asasi Manusia

Selama konflik, berbagai pelanggaran hak asasi manusia terjadi. Meskipun perdamaian telah tercapai, upaya penegakan keadilan bagi para korban masih belum optimal. Proses hukum yang transparan dan adil serta pemberian kompensasi bagi korban merupakan langkah penting dalam proses rekonsiliasi yang menyeluruh.

5. Implementasi Syariat Islam

Sebagai daerah dengan otonomi khusus, Aceh menerapkan syariat Islam dalam sistem hukumnya. Namun, implementasi syariat Islam harus dilakukan dengan bijaksana agar tidak menimbulkan diskriminasi atau pelanggaran terhadap hak-hak individu.

Penulis 
Azhari