Foto di google
Di lembaran sejarah dunia, sedikit negeri yang memiliki ketangguhan politik, kedaulatan hukum, dan kekuatan militer sekelas Aceh. Negeri ini bukan sekadar provinsi di ujung barat Sumatra, tapi sebuah bangsa besar yang pernah berdiri tegak sebagai negara berdaulat jauh sebelum Indonesia lahir. Tahun 1928, saat para pemuda di Jawa baru berikrar dalam Sumpah Pemuda, Aceh masih mempertahankan eksistensinya sebagai sebuah negeri merdeka yang tengah menghadapi agresi kolonial Belanda.
Kesultanan Aceh Darussalam berdiri pada 1496 M di bawah kepemimpinan Sultan Ali Mughayat Syah. Selama lebih dari tiga abad, Aceh menjelma menjadi kekuatan utama di kawasan Selat Malaka. Hubungan diplomatik terjalin luas, mulai dari Kekhalifahan Turki Utsmani, Kesultanan Mughal di India, Dinasti Ottoman, hingga Inggris, Arab, dan Eropa Barat. Ini bukan sekadar kisah turun-temurun, tapi fakta yang tercatat di arsip Istanbul, Den Haag, dan London.
Pada abad ke-16 hingga ke-17, Aceh memiliki armada laut terkuat di Asia Tenggara. Negeri ini bahkan mencetak mata uang sendiri berupa koin emas dirham dan perak keueh, bertuliskan kalimat tauhid serta nama sultan. Aceh pun mengirimkan utusan resmi ke Turki Utsmani untuk meminta bantuan militer dan menjalin perjanjian dagang internasional. Sejarawan Anthony Reid dalam The Contest for North Sumatra menegaskan Aceh sebagai kekuatan Islam regional yang tak tertandingi di zamannya.
Ketika kolonialisme Belanda mulai memperluas kekuasaan di Nusantara, Aceh tetap berdiri kokoh. Perang Aceh yang dimulai tahun 1873 menjadi salah satu perang terpanjang dalam sejarah kolonialisme Eropa, berlangsung lebih dari 30 tahun. Meski ibu kota Kutaraja jatuh, perlawanan rakyat Aceh tidak pernah padam. Para uleebalang, ulama, hingga rakyat biasa, terus melanjutkan jihad di pedalaman.
Bahkan pada 1928, ketika Belanda mengklaim sebagian besar wilayah Nusantara, Aceh masih memiliki struktur pemerintahan lokal, wilayah otonom, dan kekuatan perlawanan bersenjata aktif. Secara hukum internasional, sebuah negeri disebut berdaulat apabila memenuhi tiga unsur: rakyat, wilayah, dan pemerintahan — baik diakui secara de jure maupun de facto. Aceh memenuhi ketiganya hingga akhir masa kolonial.
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Aceh bukanlah daerah taklukan murni. Bung Karno bahkan harus mengutus Teuku Muhammad Hasan untuk merangkul ulama, uleebalang, dan rakyat Aceh agar bersedia bergabung dalam NKRI. Sebagai imbalannya, Aceh dijanjikan status istimewa, termasuk hak menjalankan syariat Islam dan otonomi luas. Kesepakatan politik inilah yang kemudian dilupakan dan dikhianati oleh rezim-rezim pemerintahan pusat setelahnya.
Hari ini, ketika sejumlah pejabat seperti Pak Tito Karnavian dan elit politik Jakarta berbicara tentang Aceh tanpa memahami sejarahnya, itu bukan hanya bentuk pengingkaran intelektual, tapi juga pelecehan terhadap sejarah bangsa. Aceh bukanlah sekadar provinsi biasa. Ia adalah bangsa besar yang secara sukarela bergabung dengan NKRI melalui perjanjian politik. Dan pelanggaran terhadap janji itu sama artinya dengan merusak fondasi kebangsaan itu sendiri.
Aceh adalah benteng terakhir harga diri umat Islam Nusantara. Saat kerajaan-kerajaan lain gugur satu per satu, Aceh tetap mempertahankan marwah dan kehormatannya. Kita tidak meminta untuk keluar dari NKRI. Kita hanya ingin sejarah ditempatkan pada peta yang benar. Bahwa Aceh pernah menjadi bangsa kuat yang berdiri sebagai negara berdaulat. Dan karena itu, Aceh berhak dihormati — bukan karena belas kasihan, tapi karena fakta sejarah yang tak terbantahkan.
Bangsa besar adalah bangsa yang tahu cara menghormati pendukung dan pejuang-pejuangnya. Ketika bangsa ini ingin besar, jangan pernah melupakan orang-orang yang dulu menopangmu saat kamu belum bisa berdiri. Karena tanpa mereka, tak akan ada kita hari ini.
Aceh itu bangsa. Aceh itu negara. Sebelum Indonesia ada.
Azhari