Aceh dikenal dunia bukan karena emasnya, bukan karena kekayaannya, melainkan karena keberanian dan marwahnya. Di tanah ini, sejarah mencatat ribuan syuhada yang gugur dalam medan sabilillah — jalan jihad melawan penjajah. Aceh adalah satu-satunya wilayah di Nusantara yang perang melawan Belanda hingga lebih dari 30 tahun tanpa henti, dengan semangat yang lahir dari masjid, dayah, dan rumah-rumah rakyat.
Namun hari ini, setelah damai diteken di Helsinki pada 2005, aroma perjuangan itu kian memudar. Aceh memang tidak lagi bersenjata. Tapi di balik itu, ada senjata baru yang jauh lebih berbahaya: politik uang. Dari sabilillah ke politik uang — Aceh sedang berjalan di lorong gelap sejarahnya sendiri.
Warisan Sabilillah: Darah, Marwah, dan Harga Diri
Sabilillah bukan sekadar istilah. Di Aceh, ini adalah warisan harga diri. Sejak Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Teungku Chik di Tiro, hingga para ulama dayah di pedalaman Aceh Barat, Pidie, hingga Aceh Timur, jihad bukan soal fanatisme buta. Tapi soal mempertahankan tanah leluhur, aqidah, dan kehormatan.
Para pejuang Aceh dulu tak digaji. Mereka tidak dijanjikan proyek. Tidak ada politik dagang sapi, tidak ada proyek infrastruktur di balik perjuangan. Yang ada hanya satu: jika mati syahid, surga menanti. Jika hidup, marwah bangsa terjaga.
Semangat itulah yang membuat Belanda kalang kabut. Bahkan Snouck Hurgronje dalam laporannya menyebut Aceh sebagai “sarang pemberontak fanatik” — karena di sini, agama dan perjuangan menyatu.
Damai Helsinki: Jalan Tengah atau Perang Bentuk Baru?
Ketika damai datang pada 2005, harapan rakyat Aceh membuncah. Orang tua di kampung membayangkan anak-anak bisa sekolah tanpa takut suara senjata. Petani berharap sawah bisa digarap tanpa ancaman. Janda-janda korban konflik berharap tanahnya bisa kembali.
Namun kenyataan berkata lain. Elite politik yang lahir dari rahim perjuangan bersenjata justru bertransformasi menjadi elite penguasa. Kursi DPR, bupati, wali kota, hingga gubernur diperebutkan bukan lagi dengan idealisme perjuangan, tapi dengan tebalnya amplop dan besarnya logistik politik.
Rakyat yang dulu berteriak sabilillah, kini dihadapkan pada praktik politik transaksional yang brutal. Suara rakyat dibeli, kebijakan diperjualbelikan, proyek ditukar dengan loyalitas politik.
Politik Uang: Sumber Kehancuran Baru Aceh
Dalam konteks Aceh, politik uang bukan sekadar pelanggaran etika. Ia adalah bentuk penghinaan terhadap darah para syuhada. Dulu, Teuku Umar rela mati demi harga diri bangsanya. Kini, sebagian politisi Aceh rela menjual prinsipnya demi proyek jangka pendek.
Yang lebih menyedihkan, politik uang justru dijalankan oleh mereka yang lahir dari tubuh perjuangan. Mereka yang dulu membawa senjata demi Aceh Merdeka, kini menjadi pemain utama di lelang politik.
Uang kini menjadi sabilillah baru. Bukan lagi demi rakyat, tapi demi pundi-pundi pribadi.
Dampaknya: Aceh Tertinggal, Rakyat Dikhianati
Apa yang terjadi? Dana Otsus yang seharusnya menjadi alat percepatan pembangunan berubah jadi bancakan. Lihat saja indeks kemiskinan Aceh yang masih tinggi. Pengangguran terbesar di Sumatra. Korupsi merajalela. Infrastruktur hancur. Pendidikan terpuruk.
Semua itu bukan karena Aceh tidak punya uang. Tapi karena uang habis di meja politik transaksional. Proyek jalan, jembatan, sekolah, hingga rumah dhuafa jadi ajang titipan elite.
Sementara itu, marwah Aceh di mata nasional semakin kabur. Aceh kini lebih dikenal sebagai daerah konflik politik dan korupsi dana Otsus ketimbang tanah syuhada.
Refleksi: Kembali ke Jalan Marwah
Aceh tidak boleh terus begini. Harus ada upaya bersama untuk mengembalikan semangat sabilillah dalam konteks damai. Bukan lagi dengan senjata, tapi dengan politik bermartabat, pembangunan berkeadilan, dan pemerintahan yang bersih.
Para pemuda Aceh harus bangkit. Jangan biarkan sejarah perjuangan leluhur menjadi dongeng basi tanpa makna. Dayah harus kembali ke garda terdepan membangun moral elite politik. Rakyat harus berani menolak politik uang.
Jika tidak, maka Aceh akan kembali menjadi ladang konflik — bukan karena perang fisik, tapi perang kepentingan.
Penutup: Sabilillah Zaman Damai
Aceh boleh berdamai dengan Jakarta. Tapi Aceh tak boleh berdamai dengan kebodohan, kemiskinan, dan korupsi. Sabilillah hari ini bukan lagi dengan peluru, tapi dengan pena, ide, integritas, dan keberanian melawan praktik politik kotor.
Jika dulu syuhada gugur di medan laga, maka sekarang pejuang Aceh harus berani gugur di medan moral dan kebenaran. Karena harga diri bangsa ini tak bisa dibeli dengan lembaran rupiah di musim pemilu.
Sejarah Aceh menunggu siapa yang berani mengembalikan marwah itu.