Di Aceh dan Minangkabau, rumah tangga bukan hanya urusan dua orang, tetapi urusan dua keluarga, dua adat, dan dua harga diri. Dalam filosofi adat, rumah tangga ibarat sebuah biduk di tengah lautan. Angin bisa tenang, bisa pula ribut. Gelombang bisa kecil, bisa pula menghempas. Yang menyelamatkan bukan siapa yang paling kuat dayungnya, tetapi siapa yang mampu mengatur irama dayung bersama.
Pernikahan Itu Mengikat Dua Nama Baik
Di Aceh dikenal pepatah, “Leubeh ngon kah, bek jeut nyan tanyo” — lebih baik bertanya dulu, sebelum mengambil keputusan. Dalam adat Minangkabau ada ungkapan, “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”, artinya adat berjalan seiring syariat. Itu sebabnya, dalam adat kita, musyawarah menjadi panglima.
Dulu, jika sepasang suami istri berselisih, bukan cerai yang dicari. Tapi pemanggilan mamak, saudara, tetua kampung, atau imam meunasah. Duduk bersama, mencari sebab-musabab, saling menyampaikan keluh, lalu dicari mufakatnya.
Karena dalam pandangan adat, pernikahan bukan sekadar akad, tapi menyatukan marwah dua keluarga. Bila rumah tangga rusak, bukan hanya suami istri yang menanggung malu, tapi juga kampung halaman.
Musyawarah, Tradisi Penyambung Rumah Tangga
Musyawarah dalam rumah tangga ibarat obat. Bila hati mulai luka, bila pikiran mulai gelap, duduklah bersama. Di Aceh dulu, orang tua selalu pesan,
“Bek nyan jeut lagee asai, teuma, ceu, tanyoe. Lon kiban, kiban ngon tanyoe. Bek na peu jeut.”
Artinya, jangan biarkan persoalan jadi bara, cepat bicara, cari jalan keluar.
Sebab, banyak rumah tangga hancur bukan karena masalahnya berat, tapi karena tak mau saling bicara. Sedikit demi sedikit masalah disimpan, lalu meledak tak terkendali.
Di Minangkabau pun begitu. Dikenal istilah badoncek, yaitu adat memanggil ninik mamak saat ada perselisihan dalam rumah tangga. Tujuannya bukan mencari siapa salah siapa benar, tapi agar masalah tidak melebar, harga diri keluarga tetap terjaga, dan rumah tangga bisa diselamatkan.
Ujian Itu Pasti, Mufakat Itu Kunci
Setiap rumah tangga pasti diuji. Baik masalah rezeki, anak, kecemburuan, hingga gangguan dari pihak luar. Tapi dalam adat, orang tua selalu berpesan, jangan ambil keputusan saat emosi. Karena keputusan saat marah sering kali merusak marwah.
Dalam rumah tangga Aceh-Minang, keputusan harus diambil lewat mufakat. Duduk bersama, saling mengalah, dan mencari titik temu. Seperti kata petuah tua:
“Buleuen lam padang, hatee lam hatee. Uroeng ta geutanyoe, padum ta padum.”
Artinya, bulan di padang tetaplah bulan, hati orang tetaplah hati. Kita saling berbeda, tapi bisa saling terima.
Pernikahan Bukan Siapa Paling Benar, Tapi Siapa Paling Bijak
Orang tua Aceh bilang, rumah tangga bukan tentang siapa menang atau kalah, tapi siapa yang mampu meredakan badai tanpa saling menyakiti. Dalam adat Minang, suami disebut tungkek tangah rumah, pilar tengah rumah. Istri disebut limas rumah gadang, yang meneduhkan.
Keduanya punya peran. Kalau suami keras, istri harus lembut. Kalau istri marah, suami harus tenang. Bukan saling membalas, tapi saling meredam.
Penutup: Kembalikan Nilai Musyawarah dalam Rumah Tangga
Hari ini, banyak rumah tangga muda runtuh karena terbawa arus modern yang serba instan. Sedikit-sedikit cerai. Padahal, di kampung, orang tua dulu rela jalan kaki ke rumah mamak, duduk malam-malam membicarakan masalah rumah tangga anak-anaknya.
Kita perlu menghidupkan kembali budaya musyawarah ini. Karena dalam adat Aceh dan Minang, musyawarah adalah obat, dan mufakat adalah berkah.
Rumah tangga itu bukan tentang menang, tapi tentang bertahan, tentang saling memaafkan, dan saling menyejukkan.
“Adat bek jeut teuka, syarak bek jeut lagee. Meutem tem gadoeh, tapi buleuen tetap sinan.”
Azhari