Sejak Aceh memperoleh status otonomi khusus pasca MoU Helsinki, harapan rakyat begitu besar bahwa dana triliunan rupiah yang mengalir setiap tahun bisa membangkitkan ekonomi rakyat, memperbaiki infrastruktur, dan memulihkan luka sosial akibat konflik. Tapi kenyataannya, sebagian besar anggaran itu justru larut ke dalam pusaran politik proyek yang dikuasai segelintir elite.
Dari proyek jalan, jembatan, pengadaan hingga pelatihan-pelatihan bodong — semua diproyekkan, semua diperjualbelikan.
Proyek Bukan Lagi untuk Rakyat
Skema politik proyek di Aceh sangat sederhana tapi mematikan. Setiap proyek besar maupun kecil dipatok jatah untuk oknum elite politik, oknum birokrasi, dan kroni-kroninya. Proses tender kerap kali formalitas belaka, pemenang proyek sudah ditentukan bahkan sebelum dokumen lelang dibuka.
Proyek bukan lagi menjadi alat pemerataan ekonomi, tapi alat memperkaya diri. Bahkan di beberapa kabupaten/kota, proyek-proyek strategis ditentukan dalam ruang gelap antara elite politik lokal, dinas teknis, dan kontraktor loyalis. Rakyat cuma jadi penonton.
Politik Balas Budi dan Proyek Titipan
Ketika pemilu selesai dan seorang kepala daerah atau anggota dewan terpilih, balas budi pun dimulai. Para penyumbang dana kampanye dan tim sukses harus mendapat bagian proyek. Proyek-proyek yang sejatinya bisa dilelang secara profesional dan terbuka, justru menjadi alat politik.
Program-program kemasyarakatan pun disulap menjadi proyek dadakan. Pelatihan usaha kecil, pengadaan bibit, hingga festival seni budaya, sebagian hanya sebatas acara seremonial, sementara anggarannya mengalir ke kantong kelompok tertentu.
Dana Otsus Dijadikan Bancakan
Dana otonomi khusus Aceh yang selama ini digelontorkan oleh pemerintah pusat, idealnya dipakai untuk memperbaiki pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat, dan infrastruktur daerah. Tapi faktanya, sebagian besar dana itu habis untuk proyek-proyek mercusuar, pengadaan fiktif, dan perjalanan dinas pejabat.
Laporan BPK saban tahun menunjukkan banyak proyek yang tidak tepat sasaran, mangkrak, bahkan fiktif. Tapi anehnya, yang diperiksa hanya kontraktor kecil di lapangan, sementara aktor utamanya di atas meja kekuasaan tetap aman.
Menjilat Tahta, Menjaga Proyek
Para penjilat kekuasaan di Aceh punya peran ganda: membungkam kritik dan memastikan proyek tetap jatuh ke tangan kelompoknya. Mereka pandai membangun narasi keberhasilan di media, menggiring opini publik, dan menyerang aktivis atau akademisi yang berani bersuara.
Bahkan sebagian ASN dan tenaga honorer dipaksa masuk dalam barisan politik praktis, agar proyek-proyek bisa dikendalikan. Loyalitas bukan diukur dari kompetensi, tapi dari seberapa setia menjilat tahta.
Aceh Kehilangan Arah
Jika situasi ini terus berlangsung, Aceh hanya akan menjadi panggung sandiwara politik proyek, di mana anggaran triliunan itu tidak lebih dari bancakan elite. Rakyat tetap miskin, anak-anak muda merantau, kampung-kampung tertinggal, sementara segelintir elite menikmati hidup mewah.
Dana Otsus seharusnya berakhir 2027. Tapi sebelum itu, rakyat harus bangkit dan menuntut akuntabilitas. Jangan sampai Aceh diwariskan kepada generasi tanpa harapan, akibat kerakusan elite politik hari ini.
Maka Sudah saatnya rakyat Aceh membuka mata, politik proyek ini bukan lagi sekadar cerita belakang layar. Ini kejahatan nyata yang merampas hak rakyat. Jangan diam. Jangan hanya jadi penonton.
Sejarah Aceh ditulis oleh para pemberani, bukan oleh penjilat tahta. Kini giliran generasi muda, akademisi, ulama, dan masyarakat sipil bersatu merebut kembali arah pembangunan Aceh dari tangan segelintir elite.