Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Penjilat Kekuasaan: Dari Masa Sultan, Penjajahan hingga Era Otonomi

Minggu, 25 Mei 2025 | 23:09 WIB Last Updated 2025-05-27T10:36:01Z





Dalam sejarah Aceh, para pejuang dan pahlawan selalu tercatat dengan tinta emas. Namun di balik kemilau itu, ada pula sosok-sosok yang kerap terlupakan, tapi justru memiliki andil besar dalam melemahkan perjuangan: penjilat kekuasaan.

Mereka adalah para pesuruh, pengkhianat kecil, dan pejabat bayangan yang dari masa ke masa menjual harga diri demi secuil kekuasaan, jabatan, atau proyek pribadi. Dulu menjilat tahta Sultan, lalu menjilat kolonial, kini menjilat elite politik lokal.

Zaman Kesultanan: Pengkhianat dari Dalam

Pada masa Kesultanan Aceh Darussalam, sejarah mencatat bagaimana banyak peristiwa kudeta dan fitnah politik dipicu oleh orang dalam istana. Demi mendekatkan diri ke tahta, mereka tega memfitnah, menjebak, hingga membunuh sesama pejabat atau panglima perang.

Beberapa di antaranya bahkan bersekongkol dengan Belanda, memberikan informasi rahasia tentang pertahanan Aceh, lokasi gudang senjata, hingga peta jalan menuju benteng istana. Salah satu sebab runtuhnya Kesultanan Aceh bukan semata kekuatan Belanda, tapi juga akibat pengkhianatan para penjilat kekuasaan.

Era Penjajahan: Menjadi Agen Kompeni

Ketika Belanda masuk ke Aceh, penjilat kekuasaan berganti peran menjadi penghubung antara kolonial dan rakyat. Mereka menjual informasi, membantu mengawasi pejuang, hingga memburu tokoh-tokoh perlawanan.

Para demang, uleebalang, dan petinggi adat yang dulunya setia kepada Kesultanan, sebagian berbalik arah, tunduk kepada Belanda demi mempertahankan jabatan, rumah mewah, dan akses istimewa.

Dalam setiap perlawanan, selalu saja ada sosok-sosok yang menjadi kaki tangan penjajah. Mereka pura-pura bersama rakyat di siang hari, tapi melapor ke pos kompeni saat malam tiba.

Era Orde Baru: Penjilat Bersuara Pembangunan

Saat Orde Baru berkuasa, Aceh sempat menjadi daerah operasi militer. Dalam suasana represif itu, para penjilat kekuasaan muncul dengan wajah baru: sebagai juru damai, mediator, dan loyalis pusat.

Mereka hidup nyaman di tengah penderitaan rakyat. Dana-dana pusat yang seharusnya untuk membangun desa, justru mengalir ke kantong pejabat dan kroni. Kritik dianggap makar. Siapa bersuara, hilang entah ke mana.

Era Otonomi Khusus: Penjilat Berbalut Agama dan Budaya

Setelah perdamaian Helsinki, penjilat kekuasaan tetap eksis. Bedanya, kini mereka lihai menyelipkan diri dalam ormas keagamaan, adat, hingga lembaga adat. Atas nama syariat, budaya, dan pembangunan daerah, mereka merancang proyek-proyek siluman dan menjarah dana otsus.

Semua dibungkus narasi Islami dan kesejahteraan rakyat. Padahal realitasnya, hanya segelintir yang menikmati hasil. Mayoritas rakyat tetap miskin, pendidikan terpuruk, dan pengangguran membengkak.

Penutup: Warisan Buruk yang Harus Diputus

Dari zaman Sultan, kolonial, Orde Baru hingga otonomi khusus, penjilat kekuasaan selalu menjadi benalu bagi Aceh. Mereka bukan saja mengkhianati rakyat, tapi juga menghambat kemajuan daerah.

Jika Aceh ingin bangkit, budaya penjilat ini harus dihentikan. Rakyat harus berani bersuara, pemuda jangan apatis, dan para ulama harus kembali ke posisi strategis sebagai pengawal moral, bukan sekadar stempel kekuasaan.

Aceh pernah besar bukan karena penjilat, tapi karena pejuang dan pemberani. Kini saatnya generasi muda mengambil peran itu.