Oleh: Azhari
Aceh, bumi Serambi Mekkah, negeri para ulama, syuhada, dan sultan agung, adalah sebuah kawasan yang tidak sekadar dikenal karena keindahan alam dan adat syariatnya, tetapi juga karena sejarah perlawanan dan perjuangan kemerdekaannya yang panjang. Dalam catatan dunia, Aceh adalah salah satu negeri Islam yang paling keras mempertahankan kemerdekaannya, baik dari invasi asing maupun pengkhianatan internal.
Pertanyaan paling mendasar hari ini bukan lagi sekadar mengenang sejarah kejayaan Aceh di masa lalu, tetapi apakah Aceh hari ini masih merdeka? Atau justru telah menjadi bagian dari dunia global yang menindas dalam bentuk yang lebih halus: ekonomi, budaya, hingga kebijakan politik pusat?
Aceh di Persimpangan Jalan
Perjuangan kemerdekaan Aceh dahulu bukan hanya soal melawan senjata kolonial, tetapi juga upaya mempertahankan identitas, martabat, dan kedaulatan hukum Islam. Mulai dari Sultan Iskandar Muda, Sultanah Tajul Alam Safiatuddin, hingga para panglima pejuang seperti Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien, semua bergerak dalam satu cita-cita: Aceh yang berdaulat di tanah sendiri.
Namun, setelah masuk dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, perjuangan itu menghadapi bentuk baru. Sejarah konflik bersenjata, lahirnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM), hingga perdamaian MoU Helsinki 2005 menjadi babak panjang tentang bagaimana Aceh terus mencari jati dirinya di tengah arus kekuasaan nasional dan kepentingan global.
Hari ini, Aceh dihadapkan pada ancaman kolonialisme gaya baru. Tidak lagi dalam bentuk tentara asing, tetapi lewat investasi yang menggerus sumber daya, ketergantungan ekonomi, dan budaya digital yang merusak karakter generasi muda. Di sinilah pentingnya merebutkan kembali kemerdekaan Aceh dari dunia.
Kemerdekaan Bukan Sekadar Status Administratif
Banyak orang keliru mengira kemerdekaan itu selesai setelah MoU Helsinki ditandatangani. Padahal, sejatinya, kemerdekaan adalah soal siapa yang memiliki kendali atas tanah, sumber daya, hukum, budaya, dan arah moral masyarakatnya.
Saat ini Aceh masih “dijajah” dalam bentuk ketergantungan dana Otsus, proyek pusat, ketakutan elit terhadap Jakarta, serta degradasi moral akibat budaya global yang tak terbendung. Budaya syariat dijadikan formalitas, sementara mental masyarakat digerogoti oleh kapitalisme digital, politik transaksional, dan kehilangan identitas sejarahnya.
Merebutkan kembali kemerdekaan Aceh berarti:
- Menguasai kembali sumber daya alam Aceh untuk rakyat.
- Mendirikan sistem pendidikan Islam dan dayah yang modern tanpa meninggalkan ruh aslinya.
- Menghidupkan kembali literasi sejarah Aceh di kalangan muda.
- Memperkuat media lokal dan kebudayaan Aceh sebagai benteng perlawanan informasi.
- Menjaga marwah syariat dengan keteladanan, bukan sekadar regulasi.
- Menuntut kedaulatan politik yang sungguh-sungguh dan bukan sebatas jabatan.
Perang Generasi Baru: Melawan Lupa dan Pengkhianatan
Hari ini perang fisik telah berakhir, tetapi perang ideologi, budaya, dan moral masih berlangsung. Aceh harus mewaspadai infiltrasi budaya global yang mengikis identitasnya secara sistematis. Mulai dari konten digital destruktif, gaya hidup hedonis, hingga politik elit yang abai terhadap rakyat.
Generasi muda Aceh harus merebut kemerdekaan ini kembali. Tidak dengan senjata, tetapi dengan pena, buku, media, dan karya nyata. Dayah-dayah harus menjadi benteng peradaban. Sejarah Aceh harus kembali ditulis oleh anak cucu bangsa sendiri, bukan oleh orang luar. Kebijakan pembangunan harus berpihak kepada rakyat miskin, bukan elite oportunis.
Akhir Kata: Aceh Tidak Boleh Mati di Tangan Anak Cucunya
Kalau dahulu Belanda gagal menjajah Aceh sepenuhnya, jangan sampai hari ini Aceh mati perlahan-lahan di tangan anak cucunya sendiri karena kebodohan, ketamakan, dan pengkhianatan. Kemerdekaan itu dirawat, diperjuangkan, dan diwariskan. Dan tugas itu hari ini ada di pundak generasi muda Aceh.
Merebutkan kembali kemerdekaan Aceh dari dunia bukan berarti memisahkan diri secara fisik dari Indonesia atau dunia, tapi memastikan bahwa Aceh tetap Aceh, dengan identitas, syariat, dan kedaulatan moralnya yang utuh di tengah dunia global yang mencoba menyeragamkan segalanya.