Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Merebutkan Kemerdekaan Aceh dari Dunia: Sebuah Refleksi dan Gagasan

Minggu, 25 Mei 2025 | 22:18 WIB Last Updated 2025-05-25T15:18:46Z




Aceh bukan sekadar sepetak tanah di ujung barat Sumatra. Ia adalah sebentuk jiwa, harga diri, dan warisan sejarah yang tak lekang oleh waktu. Di balik setiap ombak Samudra Hindia yang menghempas pantai-pantainya, terpatri kisah tentang negeri yang dulu disegani, dicemburui, bahkan ditakuti oleh bangsa-bangsa besar dunia.

Hari ini, di tengah gegap gempita globalisasi dan digitalisasi, perbincangan tentang kemerdekaan Aceh kerap dilabeli usang. Tapi benarkah demikian? Ataukah justru kita yang pelan-pelan mulai kehilangan keberanian untuk mempertanyakannya?

Sejarah Tak Pernah Mati

Dalam catatan sejarah dunia, Aceh adalah negeri yang mampu berdiri sejajar dengan kekuatan-kekuatan besar. Sultan Iskandar Muda pernah mengirim utusan diplomatik ke Turki Utsmani, Persia, hingga Moghul India. Aceh punya jalur diplomasi dan kekuatan militer yang dihormati. Bahkan, Aceh pernah menjadi salah satu pusat penyebaran Islam paling strategis di Asia Tenggara.

Perjanjian-perjanjian internasional pun pernah menyebut nama Aceh, baik dalam konteks dagang, geopolitik, maupun konflik. MoU Helsinki 2005 hanyalah sepotong dari rentetan panjang diplomasi Aceh terhadap dunia.

Merebutkan Bukan Berarti Memberontak

Perlu digarisbawahi, wacana merebutkan kemerdekaan Aceh dari dunia bukanlah sekadar retorika separatis. Ini tentang merebut kembali identitas, kedaulatan nilai, dan posisi terhormat Aceh di mata bangsa-bangsa. Bukan soal membangun batas geografis, tetapi batas moral, budaya, dan kemandirian berpikir.

Aceh bisa menjadi negeri yang memimpin wacana moralitas dunia Islam. Ia bisa kembali tampil sebagai benteng peradaban di Asia Tenggara — pusat kajian hukum Islam, ekowisata halal, diplomasi budaya, hingga basis gerakan kemanusiaan internasional.

Kemandirian Ekonomi dan Budaya Digital

Kemerdekaan hari ini tak lagi hanya diukur oleh peluru dan senjata, melainkan kemampuan menguasai ekonomi dan arus informasi. Aceh harus berani membangun infrastruktur digital, industri kreatif berbasis syariah, serta pusat-pusat studi internasional tentang peradaban Islam klasik dan modern.

Generasi muda Aceh perlu didorong membangun startup berbasis kearifan lokal, membuat film dokumenter sejarah, membangun platform edukasi syariah online, hingga membangkitkan kembali literasi tentang ulama dan kesultanan Aceh.

Kenapa Dunia Perlu Aceh?

Karena Aceh menyimpan warisan peradaban Islam yang ramah, berani, dan berpandangan luas. Dunia hari ini sedang krisis nilai. Kebebasan tanpa batas melahirkan kekacauan moral. Di sinilah Aceh bisa hadir — menawarkan peradaban Islam yang bijaksana, solutif, dan moderat.

Aceh yang dulu bisa mengirim utusan ke Istanbul dan Delhi, hari ini seharusnya bisa mengirim delegasi budaya ke Oxford, Harvard, atau Ankara. Kita tak lagi bicara soal "memerdekakan diri dari Indonesia" semata, tetapi bagaimana Aceh kembali menjadi "subjek dunia" yang aktif menyusun peradaban.

Maka Merebutkan kemerdekaan Aceh dari dunia berarti merebut kembali harga diri, peran, dan eksistensi Aceh dalam percaturan global. Tidak sekadar menjadi provinsi pengemis dana otonomi khusus, tapi menjadi bangsa bermartabat yang dikenal karena kontribusi moral dan intelektualnya.

Inilah waktu bagi Aceh bangkit, bukan dengan peluru, tapi dengan gagasan dan karya. Sebagaimana dulu para Sultan dan ulama Aceh menorehkan jejaknya di dunia, kita pun wajib menyiapkan generasi baru yang mampu menyambung riwayat itu.

Karena sejarah Aceh tak pernah mati — yang mati hanyalah keberanian kita untuk menghidupkannya.