Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Saatnya Memerdekakan Rakyat Aceh

Jumat, 30 Mei 2025 | 00:44 WIB Last Updated 2025-05-29T17:44:46Z




Oleh: Azhari 


Aceh bukan sekadar provinsi di ujung barat Indonesia. Ia adalah tanah warisan perjuangan yang sejak berabad-abad telah menorehkan kisah kepahlawanan, diplomasi global, dan keteguhan menjaga marwah Islam. Dari masa Sultan Iskandar Muda hingga pejuang-pejuang perang kolonial seperti Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien, Aceh berdiri sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan kekuasaan yang menindas.

Di masa modern, ketika Republik Indonesia diproklamirkan pada 1945, Aceh menjadi wilayah strategis yang setia mendukung kemerdekaan. Namun, sejarah kemudian mencatat babak-babak pilu: ketidakadilan pusat terhadap Aceh, marginalisasi ekonomi, serta pengabaian hak-hak sosial dan budaya masyarakat Aceh. Kondisi inilah yang kemudian memicu lahirnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 1976, yang mengusung semangat pemisahan dari Republik Indonesia.

Konflik bersenjata yang berlangsung selama hampir 30 tahun memporak-porandakan sendi-sendi sosial Aceh. Ribuan nyawa melayang, ekonomi lumpuh, dan trauma sosial mengendap dalam ingatan rakyat. Hingga akhirnya, damai itu datang melalui MoU Helsinki 2005.

Namun, hampir dua dekade setelah perjanjian damai ditandatangani, Aceh masih terjebak dalam problem klasik: kemiskinan, pengangguran, konflik elit, dan lemahnya arah pembangunan. Di tengah situasi ini, kembali terdengar suara-suara nyaring yang menggugat keadilan Jakarta, bahkan mengangkat kembali wacana kemerdekaan. Pertanyaannya: benarkah jalan itu masih relevan?


Jejak Sejarah dan Luka Aceh

Sejarah panjang Aceh adalah kisah tentang harga diri, kedaulatan, dan perlawanan. Sejak abad ke-16, Aceh telah memiliki sistem pemerintahan yang terorganisasi, kekuatan militer yang disegani, serta hubungan diplomatik dengan kekuatan besar dunia seperti Turki Utsmani, Inggris, dan Belanda.

Namun, masa kolonial dan intervensi politik pusat pasca-kemerdekaan Indonesia membuat posisi Aceh terpinggirkan. Ketidakadilan pembagian sumber daya alam, marginalisasi hak-hak budaya, serta pelanggaran HAM di masa Orde Baru memperparah ketegangan. Gerakan bersenjata GAM yang dipelopori Hasan Tiro adalah reaksi atas luka kolektif itu.

Ketika MoU Helsinki ditandatangani pada 15 Agustus 2005, banyak yang berharap lembaran baru Aceh akan dimulai. Aceh diberikan status otonomi khusus, Dana Otsus miliaran rupiah, kewenangan membuat Qanun syariat, hingga hak membentuk Partai Lokal. Sayangnya, implementasi di lapangan jauh dari harapan.


Realita Aceh Pasca Perdamaian

Nyatanya, meski konflik senjata berhenti, konflik elit, ketimpangan ekonomi, dan kemiskinan masih membelenggu Aceh. Data BPS Aceh 2024 menyebutkan angka kemiskinan Aceh mencapai 14,45%, tertinggi di Sumatera. Tingkat pengangguran terbuka mencapai 8,21%, dan mayoritas masyarakat masih menggantungkan hidup dari sektor informal dan pertanian tradisional.

Dana Otsus yang mencapai triliunan rupiah setiap tahunnya sejak 2008 lebih banyak terserap untuk belanja rutin birokrasi ketimbang program pemberdayaan rakyat. Politik dinasti, elitisme mantan kombatan, dan konflik internal partai lokal semakin menegaskan bahwa problem Aceh pasca-konflik bukan lagi tentang Jakarta, melainkan tentang sesama anak Aceh.

Di sisi lain, investasi luar masuk sangat terbatas akibat ketidakpastian hukum dan birokrasi yang koruptif. Potensi Aceh di sektor wisata, perikanan, perkebunan, hingga energi terbarukan dibiarkan stagnan karena lebih sibuk berebut proyek dan jabatan.


Aceh Tidak Butuh Negara Baru, Tapi Pemikiran Baru

Di sinilah urgensi kita untuk berhenti memupuk wacana Aceh Merdeka secara politik. Sebab yang rakyat butuhkan bukan bendera baru, bukan lagu kebangsaan baru, bukan paspor baru, melainkan lapangan kerja, pendidikan bermutu, layanan kesehatan yang adil, dan pemimpin yang berpihak kepada rakyat kecil.

Jika hari ini Aceh memproklamirkan kemerdekaan, siapa yang akan memimpin? Siapa yang mampu mengelola sumber daya alam? Siapa yang punya kapasitas diplomasi internasional? Jika elit lokal yang selama ini memperkaya diri dari Dana Otsus tetap berada di lingkaran kekuasaan, maka kemerdekaan politik hanya akan berpindah tangan dari Jakarta ke segelintir elit lokal.

Aceh tidak butuh negara baru. Aceh butuh revolusi pemikiran. Sebuah cara pandang baru tentang bagaimana membangun peradaban modern di atas nilai-nilai syariat, adat, dan kearifan lokal.


Perjuangan Baru: Memerdekakan Rakyat dari Kemiskinan dan Kebodohan

Kita harus memulai fase baru perjuangan Aceh, yaitu memerdekakan rakyat Aceh dari kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan. Perjuangan ini bisa dimulai dari:

  1. Ekonomi Kreatif dan Digitalisasi Usaha Rakyat
    Anak muda Aceh harus didorong membangun usaha berbasis teknologi, memanfaatkan kekuatan digital marketing untuk memasarkan produk lokal, kerajinan, kopi, hingga wisata halal.

  2. Reformasi Pendidikan Dayah dan Sekolah Umum
    Sistem pendidikan harus kembali ditata agar melahirkan generasi yang tidak hanya hafal kitab, tapi juga menguasai sains, teknologi, bahasa asing, dan entrepreneurship.

  3. Transformasi Pemerintahan Desa dan Kabupaten
    Pemerintahan di tingkat bawah harus diberdayakan dengan program-program penguatan ekonomi lokal, pertanian organik, energi terbarukan, dan koperasi syariah.

  4. Penguatan Diplomasi Budaya dan Pariwisata Islami
    Aceh harus tampil sebagai wajah Islam moderat yang ramah wisatawan, religius, tapi adaptif dengan tren global.


Kesimpulan: Stop Separatisme, Lanjutkan Perjuangan Rakyat

Sudah saatnya suara-suara yang masih terus menggaungkan kemerdekaan politik Aceh untuk berhenti. Bukan karena takut atau tunduk kepada pusat, melainkan karena waktunya telah berlalu. Tantangan hari ini jauh lebih kompleks dan membutuhkan perjuangan di medan yang berbeda.

Kini bukan saatnya mengangkat senjata, tapi mengangkat gagasan. Bukan saatnya berperang di hutan, tapi di ruang-ruang startup digital. Bukan saatnya mengejar referendum, tapi mengejar angka kemiskinan yang tinggi. Bukan saatnya berebut jabatan, tapi berebut gagasan solusi untuk generasi masa depan.

Aceh harus merdeka dari kemiskinan, dari kebodohan, dari elitisme politik, dan dari sikap anti-perubahan. Itulah kemerdekaan yang sejati.


Aceh jangan lagi ditarik mundur ke masa lalu. Karena perjuangan hari ini adalah tentang masa depan. Tentang anak-anak Aceh yang cerdas, sehat, berdaulat, dan bermartabat. Tentang tanah Aceh yang makmur tanpa harus lepas dari Indonesia. Tentang peradaban Aceh yang kembali menjadi mercusuar dunia Islam.

Stop, Aceh Merdeka!
Saatnya Merdeka untuk Rakyat Aceh.