Oleh: Azhari
Dalam kehidupan, kita sering terjebak dalam keinginan untuk memiliki segalanya — pekerjaan yang sempurna, penghasilan yang tinggi, lingkungan yang ideal, bahkan penghargaan dari banyak orang. Namun, kenyataan hidup tak selalu berjalan sesuai rencana. Tidak semua yang kita impikan dapat dimiliki, dan tidak semua yang kita kejar akan sampai pada genggaman.
Prinsip sederhana namun bermakna ini seharusnya kita tanam dalam diri: kerjakan apa yang bisa, jangan paksakan semua harus ada.
Karena hidup bukan soal menyempurnakan segalanya, tetapi tentang bagaimana kita mengerjakan yang ada dengan sebaik-baiknya.
Bekerja dengan Kesadaran, Bukan Paksaan
Setiap orang memiliki batas kemampuan, waktu, dan kesempatan. Tak semua bisa dikerjakan sekaligus.
Namun dalam budaya kerja modern, terutama di era digital ini, banyak orang merasa tertekan untuk selalu “sempurna” dan serba bisa. Mereka ingin melakukan semua hal dalam satu waktu — mengejar karier, membangun usaha, menjaga hubungan sosial, mengurus keluarga, dan tetap terlihat bahagia di media sosial.
Padahal, hidup tidak menuntut kita menjadi sempurna dalam segala hal.
Yang dituntut adalah konsistensi dan kesungguhan dalam apa yang mampu kita jalankan.
Kadang, kita terlalu sibuk ingin terlihat hebat, hingga lupa bahwa ketenangan juga bagian dari produktivitas.
Orang yang bekerja dengan kesadaran akan batas dirinya, justru lebih efisien dan bijak dibanding mereka yang memaksakan semua hal tanpa arah.
Keterbatasan Bukan Kelemahan
Kita sering menganggap keterbatasan sebagai kelemahan. Padahal, justru di situlah letak kekuatan manusia: mampu menerima batas, tapi tetap berbuat dalam batas itu.
Tidak semua orang harus menjadi direktur, tidak semua harus menjadi pemimpin, dan tidak semua harus memiliki banyak harta.
Ada orang yang bekerja diam-diam tapi penuh makna; ada yang tidak dikenal publik, tapi jasanya besar di balik layar.
Dalam Islam pun diajarkan:
“Sesungguhnya Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Ayat ini bukan sekadar nasihat spiritual, tapi juga prinsip kerja dan kehidupan.
Tugas kita bukan memaksa diri untuk menanggung semua hal, melainkan mengerjakan yang bisa — dengan sungguh-sungguh, jujur, dan sabar.
Karena hakikat pekerjaan bukan pada hasil semata, tapi pada nilai usaha dan keikhlasan.
Bekerja dengan Rasa Syukur
Sering kali orang gagal bukan karena tidak mampu, tetapi karena tidak bersyukur atas kemampuan yang ada.
Kita sibuk membandingkan pekerjaan sendiri dengan orang lain, iri dengan keberhasilan orang lain, hingga lupa menikmati proses sendiri.
Padahal, pekerjaan sekecil apa pun bisa bernilai besar bila dikerjakan dengan rasa syukur.
Petani yang bekerja di sawah, guru yang mengajar di desa, perawat yang berjaga malam, atau pedagang kecil di pinggir jalan — mereka semua bekerja dalam keterbatasan, tapi dengan hati yang tulus.
Bekerja dengan syukur berarti menyadari bahwa setiap hasil, sekecil apa pun, adalah bagian dari rezeki yang telah diatur Tuhan.
Dan rezeki itu bukan hanya uang, tetapi juga kesehatan, ketenangan, dan keberkahan dalam hidup.
Hidup Bukan Lomba Kecepatan
Salah satu penyakit zaman ini adalah keinginan untuk serba cepat.
Banyak orang berlomba menjadi sukses di usia muda, ingin semua selesai dalam waktu singkat. Mereka lupa bahwa setiap perjalanan memiliki waktunya sendiri.
Orang yang menanam padi tidak bisa memanen keesokan hari.
Begitu pula dengan pekerjaan — ada proses yang harus dijalani, ada waktu yang harus dihormati.
Maka, kerjakan apa yang bisa hari ini, tanpa harus memaksakan semua selesai sekaligus.
Terlalu banyak memikul beban hanya akan membuat langkah terhenti.
Kebijaksanaan hidup adalah ketika seseorang mampu berkata:
“Aku kerjakan yang bisa, sisanya kuserahkan pada waktu dan kehendak Tuhan.”
Bekerja dengan fokus lebih baik daripada sibuk mengejar banyak hal tanpa arah.
Sebab kerja yang tenang melahirkan ketulusan, sementara kerja yang terburu-buru melahirkan kelelahan dan kekecewaan.
Bukan Semua Harus Ada, Tapi Semua Harus Bermakna
Kita hidup di zaman yang mengukur kesuksesan dari apa yang terlihat — mobil, rumah, jabatan, jumlah pengikut, atau status pekerjaan.
Namun, ukuran sejati bukan pada seberapa banyak yang dimiliki, melainkan seberapa bermakna apa yang kita lakukan.
Orang yang sederhana tapi memberi manfaat bagi orang lain jauh lebih mulia daripada mereka yang bergelimang harta tapi tak pernah peduli.
Hidup bukan tentang mengumpulkan semua yang ada, tapi tentang memaknai yang ada.
Maka ketika pekerjaan terasa berat, atau hasil tak sesuai harapan, jangan buru-buru menyerah atau menyalahkan keadaan.
Tanyakan pada diri: apakah aku sudah melakukan yang bisa?
Jika jawabannya iya, maka itu sudah cukup.
Karena dalam pandangan Allah, yang dinilai bukan hasil sempurna, tapi usaha yang ikhlas.
Belajar dari Mereka yang Tenang
Lihatlah para pekerja di pelosok, petani yang menanam padi dengan sabar, nelayan yang menunggu angin reda, atau ibu rumah tangga yang mengurus keluarga tanpa lelah.
Mereka tidak memaksakan diri menjadi segalanya, tapi tetap setia menjalani peran yang bisa mereka lakukan.
Mereka tidak memiliki segalanya, tapi memiliki ketenangan hati.
Dan ketenangan itu lahir dari penerimaan — menerima bahwa hidup tak harus lengkap untuk tetap bahagia.
Sebaliknya, banyak orang modern yang tampak sukses tapi gelisah; mereka punya segalanya, tapi merasa kosong.
Karena terlalu ingin menguasai semua hal, mereka kehilangan arah hidup yang sederhana.
Filosofi Pekerjaan: Ikhlas dan Cukup
Dalam pandangan orang bijak, pekerjaan bukan sekadar aktivitas mencari uang, tetapi ibadah dan pengabdian.
Mereka yang bekerja dengan ikhlas tak akan terbebani oleh hasil, karena mereka tahu: yang penting adalah memberi yang terbaik.
Kerja yang penuh keikhlasan membuat seseorang tenang meski hasilnya kecil.
Kerja yang dipenuhi ambisi membuat seseorang gelisah meski hasilnya besar.
Maka prinsip “kerjakan apa yang bisa” bukan ajakan untuk pasif atau malas, melainkan ajaran untuk bekerja dengan keseimbangan.
Karena tidak semua harus ada dalam hidup kita — cukup yang perlu, cukup yang mampu, cukup yang membawa berkah.
Penutup: Hidup yang Berarti Adalah Hidup yang Dijalani
Kita hidup bukan untuk membuktikan apa-apa kepada dunia, tapi untuk menjalankan peran yang diamanahkan Tuhan sebaik mungkin.
Setiap orang punya jalan, waktu, dan porsinya masing-masing.
Jangan paksakan semua hal terjadi sekaligus, karena Tuhan tahu kapan saat yang tepat untuk memberi.
Kerjakan apa yang bisa — dengan sungguh-sungguh, dengan hati yang ikhlas, dan dengan kesadaran bahwa tidak semua harus kita miliki untuk merasa cukup.
Kadang, yang membuat hidup indah bukan kesempurnaan, melainkan ketulusan dalam menjalani yang sederhana.
“Bekerjalah dengan tenang. Terimalah dengan syukur. Karena yang sedikit tapi berkah, lebih baik daripada yang banyak tapi memaksa.”