Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Saatnya Santri Dayah Aceh Menulis Sejarah Dayah: Menjaga Ingatan, Merawat Identitas

Minggu, 25 Mei 2025 | 18:03 WIB Last Updated 2025-05-25T11:03:03Z




Oleh: Azhari 

Di tengah gempuran era digital yang begitu deras, satu hal yang kerap luput dari perhatian masyarakat Aceh adalah pentingnya mendokumentasikan sejarah. Terlebih sejarah Dayah — sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Aceh, yang sejak dulu menjadi benteng aqidah, budaya, dan peradaban bangsa ini.

Ironisnya, di saat bangsa lain berlomba-lomba menulis tentang sejarah pesantren, sejarah ulama, hingga jejak intelektual Islam di daerah mereka, justru Aceh yang dikenal sebagai Serambi Mekkah belum memiliki dokumentasi sejarah Dayah yang sistematis di tiap daerahnya. Padahal, Dayah di Aceh bukan sekadar lembaga pendidikan. Ia adalah saksi bisu pergulatan sosial, budaya, bahkan politik umat Islam di Aceh sejak era Kesultanan hingga masa modern.

Santri Harus Menjadi Penulis Sejarahnya Sendiri

Sudah saatnya para santri Aceh mengambil peran itu. Sebab siapa lagi yang lebih memahami denyut kehidupan Dayah, jika bukan mereka yang lahir, belajar, dan mengabdi di dalamnya? Para santri bukan hanya penerus ilmu, tetapi juga pewaris narasi sejarah Dayah. Mereka harus mulai menulis, menelusuri jejak pendiri Dayah di daerah masing-masing, merekam kisah perjuangan ulama, dan mengabadikan nilai-nilai luhur yang diwariskan.

Menulis buku sejarah Dayah di tiap daerah Aceh bukan semata soal dokumentasi, melainkan strategi kebudayaan untuk memastikan identitas keislaman Aceh tidak tercerabut di masa depan. Sebab sejarah yang tak ditulis, akan dilupakan. Lebih parah, bisa dipalsukan.

Mengapa Harus Ditulis Per Daerah?

Aceh bukanlah satu kesatuan budaya tunggal. Tiap daerah memiliki dinamika sejarah Dayah yang khas, sesuai konteks lokal, adat, hingga tantangan zamannya. Sejarah Dayah di Aceh Besar tentu berbeda dengan Aceh Timur, Pidie, Aceh Barat Daya, atau Aceh Selatan. Begitu pula kisah tentang ulama dan peran Dayah dalam peristiwa-peristiwa penting di masing-masing wilayah.

Menulis sejarah Dayah per daerah, artinya kita sedang menyusun mozaik besar warisan peradaban Islam di Aceh. Jika ini berhasil, Aceh akan memiliki koleksi buku sejarah Dayah paling lengkap di Nusantara. Sesuatu yang selama ini belum dimiliki.

Peran Badan Pendidikan Dayah Aceh dan Pemerintah Daerah

Gagasan ini tidak bisa berjalan sendiri. Harus ada fasilitasi dari Badan Pendidikan Dayah Aceh, Dinas Kebudayaan, hingga pemerintah kabupaten/kota. Mereka perlu mendorong program “Santri Menulis Sejarah Dayah” di tiap daerah. Mulai dari pelatihan menulis sejarah, workshop metodologi, hingga pendanaan penerbitan buku.

Lebih bagus lagi bila dibuatkan Festival Buku Sejarah Dayah Aceh setiap tahun, di mana santri dari tiap kabupaten mempresentasikan hasil karyanya. Buku-buku itu bisa menjadi bahan ajar sejarah lokal di sekolah, referensi akademik, hingga warisan untuk anak cucu Aceh.

Menjaga Warisan, Menentukan Arah

Jika santri tidak menulis sejarahnya sendiri, siapa yang akan peduli? Jangan sampai generasi masa depan Aceh hanya mengenal kisah para ulama dan Dayah mereka dari versi orang luar, atau lebih parah: dari narasi yang terdistorsi.

Dengan menulis buku sejarah Dayah, santri Aceh tidak hanya menjaga ingatan, tapi juga ikut menentukan arah masa depan peradaban Aceh. Karena bangsa yang kuat adalah bangsa yang mengenal akar sejarahnya.

Saatnya santri Aceh bangkit bukan hanya sebagai penghafal kitab, tapi juga penulis sejarah. Karena tinta sejarah itu abadi.