Oleh: Azhari
Di antara gempuran budaya global, derasnya arus digital, dan krisis keteladanan elite, Aceh — yang dulu dijuluki Serambi Mekkah, kini berada di persimpangan jalan. Nilai moral generasi mudanya perlahan lapuk. Tradisi mulia yang dulu dijunjung, kini dianggap usang. Lebih tragis lagi, perilaku yang dulu disebut aib kini malah dirayakan atas nama kebebasan ekspresi. Lantas, siapa yang akan menyelamatkan Aceh bila generasi mudanya kehilangan kompas moral?
Fenomena Krisis Moral di Tengah Digitalisasi
Kemajuan teknologi memang membawa banyak kemudahan. Tapi di sisi lain, Aceh juga menghadapi gelombang digitalisasi tanpa filter nilai. Akses tanpa batas ke berbagai konten, gaya hidup liberal, hingga glorifikasi seleb TikTok yang minim moral membuat remaja Aceh semakin jauh dari jati diri Islaminya. Kekerasan digital, seks bebas terselubung, hingga pergaulan tanpa batas kini menjadi pemandangan biasa di balik layar ponsel.
Ironis, karena di saat yang sama Aceh masih memiliki Qanun Syariat, Dayah-dayah tradisional, dan warisan adat luhur. Tapi tanpa kesadaran kolektif, semua itu bisa jadi hanya simbol tanpa roh. Aceh butuh benteng moral baru untuk menyelamatkan generasi mudanya dari arus destruktif yang terus mengikis dari hari ke hari.
Membangun Benteng Moral Generasi Aceh
Apa yang dimaksud benteng moral? Ia adalah sistem nilai, ruang edukasi, dan komunitas sosial yang membentuk karakter generasi agar tidak tercerabut dari akar keislaman dan adat Aceh. Benteng moral ini bukan sekadar peraturan keras, tapi ekosistem pembinaan yang hidup dan bergerak bersama generasi muda.
Gagasannya sederhana:
- Menguatkan peran Dayah sebagai benteng utama moral generasi.
- Mendorong lahirnya komunitas literasi santri dan pemuda adat digital.
- Membentuk Forum Moral Pemuda Aceh Digital sebagai penggerak nilai-nilai Islami di ruang maya.
- Memperkuat Qanun Etika Digital Islami yang bisa menjadi pagar hukum sekaligus edukasi di media sosial.
- Menghidupkan kembali Majelis Zikir Pemuda di gampong-gampong.
- Mewajibkan pendidikan sejarah ulama Aceh di sekolah dan dayah agar generasi mengenal tokoh moralnya.
Kenapa Harus Sekarang?
Karena Aceh kini di ambang kehilangan arah moralnya. Banyak anak muda yang tak tahu siapa Tgk Chik di Tiro, tak pernah dengar kisah Teungku Chik Krueng Kale, apalagi membaca kitab Al-Mawahib al-Ladunniyyah. Lebih akrab dengan jargon prank dan flexing di TikTok daripada adat peusijuek dan hikayat perang sabil.
Jika ini terus dibiarkan, 10–20 tahun lagi Aceh hanya akan dikenang sebagai wilayah bekas Serambi Mekkah, tanpa ruh dan moral yang layak diwariskan. Yang tersisa hanya nama-nama kampung, tanpa makna.
Aceh Harus Bertindak
Pemerintah Aceh, ulama, cendekiawan, pegiat budaya, dan komunitas pemuda harus duduk bersama. Menyusun cetak biru “Benteng Moral Generasi Aceh 2040”. Bukan sekadar seminar, tapi gerakan massif di sekolah, dayah, media sosial, hingga ruang-ruang publik. Libatkan influencer, komunitas pemuda desa, hingga musisi Aceh. Buat nilai moral itu kembali keren di mata anak muda.
Aceh masih bisa diselamatkan, asalkan semua elemen peduli. Karena tanpa benteng moral, generasi kita hanya akan jadi budak tren, lupa adat, asing pada agamanya, dan tak kenal asal-usulnya. Dan ketika itu terjadi, kehancuran suatu bangsa tinggal menunggu waktu.
Benteng moral itu harus kita bangun sekarang — sebelum semuanya terlambat.
Kalau Anda setuju, mari kita gerakkan ini bersama. Karena bangsa yang kehilangan moral, adalah bangsa yang tak lagi punya masa depan.