Kematian, bagi masyarakat Aceh, bukan sekadar akhir dari kehidupan fisik, melainkan awal perjalanan menuju alam akhirat. Di balik itu, adat pemakaman Aceh telah diwariskan turun-temurun sebagai bentuk penghormatan terakhir sekaligus penguatan solidaritas sosial dalam komunitas. Namun di era modern sekarang, tatanan adat ini mulai tergerus oleh pragmatisme, individualisme, dan lemahnya pemahaman generasi muda terhadap nilai-nilai adat.
Makna Adat Pemakaman Aceh
Adat pemakaman dalam tradisi Aceh bukan hanya soal tata cara menguburkan jenazah, tapi juga penegasan nilai religius dan sosial. Sejak seseorang meninggal dunia, masyarakat Aceh terbiasa memberitahu kerabat dan tetangga, mempersiapkan jenazah secara syar’i, hingga mengadakan kenduri arwah pada hari ke-1, ke-3, ke-7, ke-20, ke-40, ke-100, hingga haul tahunan.
Prosesi seperti peusijuek jenazah sebelum dimakamkan, zikir massal, dan kenduri di rumah duka adalah bentuk doa bersama agar almarhum mendapat tempat mulia di sisi Allah. Tak hanya itu, adat ini sekaligus menjadi ajang mempererat silaturahmi dan solidaritas masyarakat. Setiap kematian di kampung menjadi urusan bersama, bukan sekadar urusan keluarga.
Proses Adat Pemakaman: Dari Rumah Duka ke Kuburan
Secara garis besar, adat pemakaman di Aceh meliputi beberapa tahap:
- Pemandi jenazah oleh ahli atau teungku khusus.
- Peusijuek (tepung tawar) jenazah sebelum dibawa ke kuburan, sebagai simbol doa keberangkatan menuju alam barzakh.
- Penguburan dengan iringan doa dan zikir massal.
- Kenduri arwah di rumah duka, biasanya setelah Isya, diikuti oleh para tetangga dan sanak saudara.
- Pembacaan surah Yasin, tahlil, dan doa bersama yang rutin dilakukan di malam ke-1, ke-3, ke-7, dan seterusnya.
Adat ini mengajarkan masyarakat untuk tidak membiarkan satu kematian pun sunyi tanpa doa dan kepedulian sosial.
Tantangan di Era Sekarang
Seiring arus globalisasi dan modernisasi, adat pemakaman Aceh menghadapi beberapa persoalan:
- Generasi muda mulai asing terhadap tata cara adat pemakaman. Banyak yang tak lagi paham makna peusijuek jenazah, atau pentingnya kenduri arwah.
- Budaya individualisme tumbuh di kota-kota Aceh. Kematian tak lagi menjadi urusan kolektif. Kadang, satu keluarga harus mengurus sendiri tanpa bantuan tetangga.
- Ekonomi pragmatis ikut memengaruhi. Kenduri arwah dianggap beban biaya, hingga mulai ditinggalkan atau sekadar formalitas.
- Campur tangan budaya luar dan pemahaman agama yang sempit membuat sebagian kalangan menganggap adat pemakaman sebagai bid’ah tanpa mau mengkaji nilai sosial dan syariat yang terkandung di dalamnya.
Solusi dan Harapan
Adat pemakaman Aceh sebenarnya bisa terus lestari tanpa harus berbenturan dengan syariat Islam dan perkembangan zaman. Beberapa hal yang bisa dilakukan:
- Edukasi adat pemakaman kepada generasi muda, baik melalui dayah, sekolah, hingga komunitas adat.
- Menjadikan adat sebagai instrumen dakwah sosial, bukan sekadar tradisi kosong.
- Menyederhanakan kenduri arwah sesuai kemampuan tanpa menghilangkan esensi doa dan solidaritas sosial.
- Menghindari praktik adat yang bertentangan dengan syariat, namun tetap mempertahankan prosesi yang sesuai dan memiliki nilai kebaikan.
Penutup: Jangan Sampai Tradisi Ini Menjadi Catatan Sejarah
Adat pemakaman Aceh adalah refleksi wajah masyarakat Aceh itu sendiri — yang religius, peduli, dan menjunjung tinggi nilai kebersamaan. Jika adat ini dibiarkan hilang, maka Aceh akan kehilangan satu pilar penting dalam tatanan sosialnya.
Kita tidak ingin generasi cucu kita nanti hanya mengenal adat pemakaman Aceh dari buku sejarah atau foto lama. Karena adat bukan sekadar simbol, tapi penjaga nilai kemanusiaan dan religiusitas di tengah arus dunia yang makin individualis.
Wallahu a’lam.