:
Oleh: Azhari
Aceh — sebuah nama yang harum dalam catatan sejarah Nusantara. Negeri Serambi Mekkah yang dulu dikenal sebagai benteng Islam di Asia Tenggara, pernah mengalami luka yang dalam, luka yang tak terlihat tapi masih terasa, meski zaman telah berganti. Aceh pernah berduka, bukan karena gempa semata, bukan karena tsunami semata. Tapi karena darah anak negerinya sendiri yang tumpah di tanah leluhur mereka, di masa konflik bersenjata yang mengguncang jiwa dan raga.
Luka Aceh di Masa Konflik
Pada dekade 1970-an hingga awal 2000-an, Aceh menjadi saksi pertarungan panjang antara para pejuang kemerdekaan dengan negara. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dipimpin Hasan Tiro memproklamasikan kemerdekaan Aceh dari Indonesia pada 1976, sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan, eksploitasi sumber daya alam, dan marginalisasi rakyat Aceh dari hak-haknya sendiri.
Konflik ini kemudian meluas menjadi konflik bersenjata yang memakan ribuan korban jiwa. Desa-desa terbakar, rumah-rumah diratakan, anak-anak kehilangan orang tua, dan ibu-ibu menjadi janda tanpa sempat menguburkan jenazah suaminya. Sungai-sungai yang dulu menjadi tempat anak-anak bermain, menjadi tempat mengalirkan darah dan airmata.
Aceh yang dulunya damai berubah menjadi ladang ketakutan. Senyum-senyum berubah jadi waspada, malam-malam sunyi dipenuhi suara letusan senjata. Tak ada lagi suara burung pagi, yang ada hanya berita tentang kematian dan penghilangan paksa.
Konflik yang Mengiris Nilai Kemanusiaan
Konflik Aceh bukan sekadar pertarungan senjata. Ia merobek nilai-nilai kemanusiaan. Banyak cerita pilu yang tak pernah masuk dalam berita nasional. Tentang anak-anak kecil yang terpaksa menjadi yatim, tentang pemuda yang jenazahnya tak pernah ditemukan, tentang perempuan-perempuan yang diperkosa lalu dibungkam oleh rasa malu dan ancaman.
Banyak generasi Aceh tumbuh dengan trauma. Generasi yang tak berani bicara, yang belajar menyimpan duka, karena kata-kata bisa jadi peluru yang membunuh. Sejarah di masa itu tidak hanya menggores luka fisik, tapi juga menyayat batin, membelah keluarga, dan memecah kepercayaan di antara sesama anak bangsa.
Aceh Pasca MoU Helsinki: Damai yang Harus Dirawat
Tahun 2005, dunia menyaksikan babak baru sejarah Aceh. Perjanjian damai yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia, antara GAM dan Pemerintah Indonesia menjadi tonggak penting. Aceh akhirnya diberikan status otonomi khusus, hak untuk mengatur diri dalam bingkai syariat Islam, serta pengelolaan hasil bumi yang lebih adil.
Namun, damai bukan berarti luka sembuh seketika. Di balik senyum-senyum yang mulai tumbuh, masih ada luka lama yang belum benar-benar pulih. Masih ada anak-anak korban konflik yang kini tumbuh dewasa tanpa tahu siapa ayahnya. Masih ada para janda yang hidup dengan kenangan pahit masa lalu. Masih ada para pejuang yang belum mendapat keadilan, dan masyarakat sipil yang kehilangan banyak hal.
Aceh hari ini memang lebih tenang. Jalan-jalan mulai ramai, masjid-masjid kembali makmur, dan pasar-pasar hidup seperti sedia kala. Tapi damai itu rapuh bila tidak dirawat. Luka lama bisa terbuka kapan saja bila keadilan diabaikan, bila kesejahteraan hanya dinikmati segelintir elit, dan bila sejarah terus dilupakan.
Belajar dari Luka untuk Masa Depan
Generasi Aceh hari ini, khususnya generasi muda, harus belajar dari sejarah luka itu. Jangan sampai konflik yang sama terulang karena ketidakadilan, ketimpangan ekonomi, atau arogansi kekuasaan. Aceh harus dibangun dengan keadilan sosial, pendidikan yang merata, dan pengelolaan kekayaan alam untuk kesejahteraan bersama.
Sejarah mengajarkan, konflik selalu lahir dari ketidakpuasan, dari suara rakyat yang dibungkam, dari harapan yang dikhianati. Maka tugas pemimpin Aceh hari ini bukan hanya membangun infrastruktur, tapi juga membangun rasa percaya rakyat kepada pemerintahan, mengobati luka-luka batin masyarakat, dan menjadikan Aceh benar-benar damai lahir dan batin.
Mengabadikan Sejarah, Menghormati Korban
Aceh harus punya ruang yang layak untuk mengenang masa lalu. Bukan untuk membuka luka, tapi untuk mengingatkan agar kita tak mengulang kesalahan yang sama. Museum, monumen, atau dokumentasi sejarah tentang masa konflik harus dihidupkan. Nama-nama korban harus dicatat, kisah para pejuang harus didengar, dan pelajaran tentang damai harus diwariskan.
Karena bangsa yang lupa sejarahnya adalah bangsa yang lemah. Dan generasi yang tak tahu luka leluhurnya adalah generasi yang mudah ditipu oleh narasi-narasi palsu.
Penutup: Aceh yang Tak Boleh Lupa
Bumi Aceh pernah berduka, pernah basah oleh darah anak negerinya sendiri. Luka itu masih ada, bahkan meski damai telah datang. Tapi Aceh bisa bangkit, bisa tumbuh jadi negeri bermartabat, bila generasi hari ini mau belajar dari masa lalu, merawat damai dengan keadilan, dan membangun masa depan dengan akal sehat serta hati nurani.
Aceh hari ini adalah milik mereka yang masih hidup. Tapi Aceh esok adalah milik generasi yang paham bahwa tanah ini pernah basah oleh air mata dan darah, dan tak boleh membiarkan hal itu terjadi lagi.
“Damai bukan tentang senyapnya senjata, tapi tentang hati yang saling percaya dan keadilan yang merata.”