Aceh Darussalam, sejak abad ke-16 hingga kini, dikenal sebagai wilayah yang konsisten mempraktikkan nilai-nilai syariat Islam dalam kehidupan sosial dan hukum. Salah satu institusi penting yang menopang keberlangsungan itu adalah dayah — lembaga pendidikan Islam tradisional khas Aceh. Di balik eksistensinya, tersembunyi satu ranah filsafat hukum yang jarang dibicarakan secara serius, yaitu epistemologi hukum Islam dalam tradisi dayah Aceh.
Apa Itu Epistemologi Hukum Islam Dayah Aceh?
Secara sederhana, epistemologi adalah teori pengetahuan; tentang bagaimana suatu pengetahuan diperoleh, dipahami, dan divalidasi. Dalam konteks dayah Aceh, epistemologi hukum Islam adalah cara pandang, metode, serta dasar keilmuan yang digunakan ulama dayah dalam menggali, memahami, dan menerapkan hukum-hukum syariat dalam kehidupan masyarakat Aceh.
Epistemologi hukum dayah berbeda dari pendekatan hukum Islam formal yang berbasis negara (seperti Mahkamah Syar’iyah) atau dari epistemologi hukum Barat. Ia berbasis keilmuan klasik (turats), nash agama (Al-Qur'an dan Hadis), ditambah dengan ijtihad lokal berbasis adat Aceh yang tidak bertentangan dengan syariat.
Tiga Pilar Epistemologi Hukum Islam Dayah Aceh
-
Nash sebagai Dasar Primer Ulama dayah mengajarkan bahwa hukum harus bersandar pada Al-Qur'an dan Hadis. Kitab-kitab kuning seperti Fathul Mu’in, Tuhfah, dan I’anatuth Thalibin menjadi rujukan utama. Validasi hukum dilakukan melalui sanad keilmuan yang terjaga dari ulama ke ulama.
-
Ijma' dan Qiyas dalam Konteks Lokal Dalam banyak kasus, dayah Aceh mengandalkan ijma’ ulama dayah setempat sebagai bentuk konsensus keilmuan, serta menggunakan qiyas (analogi hukum) untuk kasus-kasus baru, dengan memperhatikan adat-istiadat Aceh yang berstatus urf shahih (adat yang tidak bertentangan dengan syariat).
-
Adat yang Terikat Syariat Konsep adat bak po teumeureuhom, yaitu adat yang sejalan dengan hukum Islam, menjadi variabel penting. Dayah Aceh membangun epistemologi hukum yang tidak menafikan adat, tapi menjadikannya bagian dari proses hukum selama tidak melanggar nash.
Perbedaan dengan Epistemologi Hukum Islam Formal
Epistemologi hukum Islam versi dayah bersifat bottom-up; lahir dari kebutuhan sosial masyarakat, dipelajari di dayah, lalu diamalkan dalam kehidupan. Sebaliknya, hukum Islam formal (Qanun dan Mahkamah Syar’iyah) lebih top-down, diatur negara, dan kadang berbasis politik hukum, bukan murni kebutuhan umat.
Sebagai contoh, dalam persoalan warisan adat, ulama dayah tetap menghormati aturan syariat, tetapi bijak dalam menyikapi adat pembagian harta yang diwariskan turun-temurun asalkan tidak zalim. Hal ini sulit ditemukan dalam epistemologi hukum negara yang cenderung kaku.
Relevansi Epistemologi Dayah di Era Modern
Banyak yang beranggapan bahwa hukum Islam dayah bersifat konservatif dan tidak adaptif terhadap perkembangan zaman. Padahal, jika ditelaah secara epistemologis, dayah Aceh memiliki fleksibilitas hukum melalui metode ijtihad jama’i (ijtihad kolektif ulama) dan qiyas.
Misalnya, dalam menghadapi fenomena baru seperti fintech syariah, penggunaan media sosial dalam dakwah, dan problem etika digital, dayah Aceh mulai merespon dengan fatwa-fatwa yang tetap menjaga esensi syariat, tanpa harus meninggalkan konteks zaman.
Tantangan dan Peluang
Epistemologi hukum Islam dayah menghadapi tantangan serius:
- Kompetisi dengan hukum negara dan hukum global.
- Keterbatasan regenerasi ulama dayah yang menguasai kitab turats dan hukum kontemporer.
- Minimnya dokumentasi tertulis hasil ijtihad dayah yang dapat dijadikan rujukan akademik.
Namun di sisi lain, peluangnya besar:
- Aceh bisa menjadi model daerah yang menerapkan syariat berbasis epistemologi tradisional dayah dengan metode kontemporer.
- Dayah bisa membangun pusat studi hukum Islam lokal yang autentik, sebagai alternatif dari dominasi epistemologi hukum negara.
Penutup
Epistemologi hukum Islam dayah Aceh bukan sekadar warisan klasik, melainkan fondasi penting yang membangun karakter hukum masyarakat Aceh sejak berabad-abad lalu. Ia hidup di ruang sosial, bukan di atas meja penguasa.
Saatnya akademisi, pemerintah daerah, dan ulama dayah bersinergi untuk membangun narasi hukum Aceh berbasis epistemologi dayah, agar hukum syariat di Aceh tak hanya formal di Mahkamah Syar’iyah, tapi hidup dalam adat, akhlak, dan hukum sosial masyarakatnya.
Karena Aceh yang sesungguhnya adalah Aceh yang syariatnya berpijak pada ilmu, adat, dan warisan para ulama dayah.