Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Kehidupan dalam Pengangguran: Antara Harapan dan Ketidakpastian

Rabu, 18 Juni 2025 | 01:04 WIB Last Updated 2025-06-17T18:05:05Z




Di sebuah negeri yang konon katanya subur dan kaya sumber daya, ironi justru hadir di sudut-sudut kehidupan warganya. Salah satu wajah paling pahit dari kenyataan sosial itu adalah pengangguran. Sebuah status yang tak hanya bicara soal ketiadaan pekerjaan, tapi tentang kehilangan arah, rasa percaya diri, harga diri, hingga perlahan memudarkan harapan.

Bagi sebagian orang yang bekerja, pengangguran mungkin hanya soal "belum ada kerja saja". Namun bagi mereka yang menjalaninya, pengangguran adalah lorong gelap yang setiap harinya harus mereka tempuh tanpa kepastian. Saat pagi datang, tak ada agenda ke kantor atau jadwal pertemuan. Yang ada hanya rutinitas bangun tanpa tujuan, menatap dinding kamar, dan membayangkan kapan bisa beranjak dari situasi yang melelahkan ini.

Pengangguran Bukan Hanya Angka Statistik

Seringkali, media dan pemerintah memperlakukan pengangguran sebatas angka dalam laporan statistik. “Pengangguran terbuka sebanyak sekian persen”, atau “penurunan angka pengangguran sekian persen”. Padahal, di balik angka itu ada manusia dengan segala impian, kebutuhan, dan harga diri yang terluka. Setiap angka adalah seseorang yang menanggung beban untuk tetap terlihat tegar di depan keluarga, di hadapan pasangan, bahkan di dalam cermin saat menatap diri sendiri.

Lebih menyakitkan lagi, masyarakat kita kadang tak cukup bijak dalam menyikapi kondisi ini. Seorang pengangguran sering dipandang sebelah mata. Diposisikan sebagai manusia kelas dua, dianggap malas, tak mau berusaha, atau tak cerdas dalam membaca peluang. Padahal realitanya, dunia kerja hari ini tak semudah nasihat "asal mau usaha pasti bisa".

Ketimpangan dan Realitas Lapangan Kerja

Ada ketimpangan besar antara jumlah lulusan pendidikan setiap tahunnya dengan lapangan kerja yang tersedia. Kampus-kampus terus mencetak ribuan sarjana, sementara industri tidak bisa menampung semuanya. Di sisi lain, banyak perusahaan yang lebih mengutamakan pengalaman, sementara para pencari kerja pemula tidak diberi kesempatan untuk mendapatkan pengalaman itu. Lingkaran setan yang menyakitkan.

Tak jarang, para penganggur dipaksa menerima pekerjaan di luar bidang keahlian, dengan upah rendah, tanpa jaminan, bahkan harus merelakan martabatnya hanya demi sekadar bisa bertahan hidup.

Mentalitas Sosial yang Tak Ramah

Hal yang lebih memberatkan bagi pengangguran adalah tekanan sosial. Pertanyaan basa-basi yang kerap terdengar seperti, "Kerja di mana sekarang?", "Udah lulus, kerja apa?", atau "Kapan mau nikah, kerja aja belum?" — mungkin maksudnya hanya obrolan ringan, tapi bagi orang yang sedang berjuang di fase sulit, itu seperti luka yang terus dikorek.

Tak semua orang sanggup menghadapi situasi seperti ini. Banyak di antaranya yang kemudian terjebak dalam depresi, kecemasan, hingga kehilangan kepercayaan diri. Sementara pemerintah sibuk bicara program pelatihan kerja, realisasinya tak menjangkau semua lapisan masyarakat, apalagi yang di pelosok.

Di Antara Stigma dan Harapan

Hidup dalam pengangguran bukan soal tidak ingin bekerja, melainkan soal tidak adanya kesempatan yang layak. Maka sesungguhnya, yang dibutuhkan bukan sekadar pelatihan keterampilan, tapi juga akses terhadap peluang yang nyata. Pemerintah perlu lebih serius memperluas dan membuka lapangan kerja baru, terutama berbasis potensi lokal dan industri kreatif.

Masyarakat juga perlu belajar untuk berhenti memandang pengangguran sebagai kegagalan pribadi. Karena di negeri yang sistem kerjanya masih penuh ketimpangan, pengangguran adalah korban, bukan pelaku.

Pengangguran Butuh Ruang, Bukan Cemoohan

Setiap orang pasti ingin berguna bagi dirinya, keluarganya, dan masyarakat. Tak ada yang bercita-cita jadi pengangguran. Maka, sudah waktunya ruang-ruang dialog, peluang kerja, dan komunitas saling dukung dibangun lebih luas.

Daripada saling menghakimi, lebih baik kita saling memotivasi. Karena di balik status pengangguran, ada manusia yang terus berharap agar esok datang dengan kabar baik. Dan sesungguhnya, manusia paling kuat bukanlah yang selalu berada di puncak, tapi mereka yang bertahan dalam ketidakpastian tanpa kehilangan hati nurani.