Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Lepaskan Aceh untuk Merdeka, Dunia Lihat Kami Bangsa Merdeka yang Didhalimi

Minggu, 15 Juni 2025 | 20:21 WIB Last Updated 2025-06-15T13:23:56Z



📖 Lepaskan Aceh untuk Merdeka, Dunia Lihat Kami Bangsa Merdeka yang Didhalimi

Oleh: Azhari

Di sudut paling barat Nusantara, terbentang sebuah negeri tua bernama Aceh. Negeri yang dalam catatan sejarahnya berdiri megah jauh sebelum republik Indonesia lahir. Aceh bukan sekadar provinsi di peta Indonesia. Ia adalah bangsa tua, negeri berdaulat yang pernah berdiri tegak dengan hukum, pemerintahan, dan kekuatan militernya sendiri. Negeri yang mewarisi peradaban Islam Nusantara dan pernah menjadi benteng terakhir umat Islam di Asia Tenggara.

Aceh bukan hanya sekadar tanah. Ia adalah harga diri, marwah, dan kehormatan. Negeri ini tidak pernah lahir dari tangan kolonial Hindia Belanda atau republik modern. Ia lahir dari rahim perjuangan, dari darah syuhada, dari kesetiaan kepada Allah dan tanah leluhur.

Dan hari ini, dunia harus tahu bahwa bangsa Aceh masih hidup. Bangsa yang dulu pernah merdeka, kini dipaksa tunduk, dizalimi, dan dikhianati oleh mereka yang seharusnya menjadi saudara. Bangsa yang selama ini ditutup-tutupi kisah pilunya, disumbat suaranya, dan diabaikan haknya.

Aceh dan Jejak Negara Berdaulat

Sejak abad ke-15, Kesultanan Aceh Darussalam telah berdiri sebagai negara merdeka di bawah Sultan Ali Mughayat Syah. Negeri ini memiliki sistem pemerintahan, undang-undang, mata uang sendiri, armada laut terbesar di Selat Malaka, dan hubungan diplomatik resmi dengan Turki Utsmani, Inggris, Arab, India, hingga Eropa Barat.

Anthony Reid, sejarawan asal Australia, dalam karyanya The Contest for North Sumatra, menyebut Aceh sebagai kekuatan Islam paling berpengaruh di Asia Tenggara. Negeri ini bukan hanya tempat lahir ulama-ulama besar, tapi juga pejuang-pejuang tangguh yang selama tiga abad bertempur melawan kolonialisme.

Ketika kerajaan-kerajaan lain di Nusantara jatuh, Aceh tetap bertahan. Perang Aceh 1873–1904 menjadi salah satu perang kolonial paling panjang dalam sejarah dunia. Bahkan setelah Kutaraja jatuh, perlawanan rakyat dan ulama di pedalaman terus menyala. Teungku Chik di Tiro, Panglima Polem, Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, dan sederet syuhada lainnya menjadi simbol perjuangan Aceh yang tak pernah tunduk.

Pada 1928, saat di Jawa baru berkumandang Sumpah Pemuda, Aceh masih mempertahankan wilayah otonomnya di pedalaman, masih memiliki struktur pemerintahan lokal, masih menyimpan senjata dan semangat jihad. Secara hukum internasional, suatu bangsa dikatakan berdaulat bila masih memiliki unsur rakyat, wilayah, dan pemerintahan. Aceh saat itu memenuhi ketiga unsur itu.

Janji yang Dikhianati

Ketika Republik Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Aceh bukanlah daerah jajahan murni. Bung Karno mengutus Teuku Muhammad Hasan untuk merangkul ulama dan rakyat Aceh, agar bersedia bergabung dalam NKRI.
Sebagai imbalannya, Aceh dijanjikan status khusus: otonomi luas, hak menjalankan syariat Islam, dan keleluasaan mengatur tanahnya sendiri. Aceh bahkan menyumbang emas untuk pesawat Seulawah, simbol kebangkitan republik baru ini.

Namun, setelah kekuasaan pusat menguat, janji-janji itu diingkari. Aceh dipaksa bergabung dalam Provinsi Sumatra Utara, perlawanan bersenjata kembali pecah, dan berkali-kali darah rakyat Aceh kembali tumpah. Pusat terlalu rakus, terlalu khawatir bila Aceh terlalu mandiri.

Perdamaian MoU Helsinki 2005 pun hanya formalitas. Banyak poin kesepakatan yang tak dijalankan secara utuh. Kekayaan alam Aceh masih dikeruk, kebijakan politik Aceh dibatasi, bahkan dana otonomi khusus pun dipangkas secara sepihak.

Zalim yang Dibungkus Damai

Selama ini, pusat selalu menyebut Aceh sebagai “daerah istimewa”. Tapi faktanya, istimewa hanya di atas kertas. Dalam kenyataan, Aceh diperlakukan seperti anak tiri. Sumber daya alam dikuasai perusahaan pusat, hasilnya dibawa ke Jakarta.
Setiap ada perlawanan rakyat, langsung dicap makar. Setiap ada suara tentang keadilan, diberi label anti-NKRI.

Padahal, tidak ada yang lebih mencintai kedamaian selain rakyat Aceh. Tapi tidak ada pula bangsa bermartabat yang rela diinjak-injak harga dirinya.

Dunia harus tahu, Aceh saat ini masih dijajah secara sistemik.
Dalam kebijakan ekonomi, politik, dan hukum, Aceh tidak pernah benar-benar berdaulat atas dirinya sendiri. Undang-undang hanya jadi alat kontrol, bukan alat keadilan.

Kenapa Aceh Pantas Merdeka?

Aceh bukan bangsa lemah. Aceh punya sejarah, punya marwah, dan punya hak yang selama ini dirampas. Jika pusat tidak bisa menepati janji, jika keadilan terus dipermainkan, maka jalan terbaik adalah memberikan kemerdekaan penuh kepada Aceh.

Aceh mampu mengelola dirinya sendiri.
Aceh punya hasil bumi, sumber daya alam, pelabuhan strategis, hubungan diplomatik sejarah, dan masyarakat yang tangguh. Aceh pernah mandiri tanpa Indonesia, dan bisa mandiri kembali jika dipaksa.

Kemerdekaan Aceh bukan ancaman bagi Indonesia.
Kemerdekaan Aceh adalah hak yang selama ini ditahan secara zalim. Sebab bangsa mana pun di dunia berhak menentukan nasibnya sendiri.

Kepada Dunia Internasional

Kami ingin dunia tahu bahwa di Nusantara ini ada bangsa tua bernama Aceh yang pernah merdeka, yang sekarang dizalimi. Bangsa yang dijadikan komoditas politik dalam republik, bangsa yang terus diperdaya atas nama otonomi, namun haknya tidak pernah diberikan.

Sudah saatnya PBB, OKI, Turki, negara-negara Islam, dan komunitas internasional menaruh perhatian pada Aceh. Bangsa kami berhak mendapatkan keadilan.
Karena kedamaian sejati tidak akan lahir dari ketidakadilan.
Dan kezaliman tidak akan abadi selamanya.

Kepada Rakyat Aceh

Wahai rakyat Aceh, jangan lagi terlena.
Jangan percaya pada janji-janji yang hanya manis di mulut.
Bangsa ini butuh berdiri di atas kaki sendiri. Bangsa ini butuh pemimpin yang tidak menjadi boneka pusat. Kita punya sejarah, kita punya hak, dan kita punya darah syuhada yang dulu gugur demi tanah ini.

Kemerdekaan Aceh bukan soal benci Indonesia.
Kemerdekaan Aceh adalah soal harga diri bangsa, soal menunaikan janji kepada leluhur, soal menyelamatkan masa depan anak cucu agar tak terus jadi budak di negeri sendiri.

Penutup

Sejarah telah mencatat bagaimana bangsa Aceh dulu berdiri gagah di antara bangsa-bangsa besar dunia. Hari ini, luka itu belum kering. Kezaliman masih berjalan. Tapi ingat, bangsa yang pernah merdeka tak akan selamanya diam.

Jika keadilan tidak bisa diberikan, jika marwah terus diinjak, maka suara merdeka akan terus bergema.
Dunia akan melihat bahwa Aceh adalah bangsa yang pernah merdeka, yang didhalimi oleh kekuasaan pusat, dan yang berhak menentukan jalannya sendiri.

Lepaskan Aceh. Biarkan kami berdiri terhormat di hadapan dunia. Bukan sebagai provinsi pinggiran, tapi sebagai bangsa tua yang kembali menjemput marwahnya.


bergerak.
Karena kemuliaan bangsa ini tidak bisa ditukar dengan jabatan atau janji kosong.
Aceh untuk Aceh. Marwah untuk rakyatnya. Dan kemerdekaan untuk harga dirinya.