Aceh bukan sekadar nama di ujung peta. Aceh adalah bangsa besar yang mewarisi darah pejuang, tanah syuhada, dan marwah Islam di Asia Tenggara. Tapi sejarah bangsa ini penuh luka, penuh darah, dan penuh penghinaan dari kekuasaan biadab yang menjajah, memeras, dan menindas.
Sejak awal, Aceh berdiri sebagai negeri merdeka. Dari Sultan Ali Mughayat Syah, Sultan Iskandar Muda, hingga pejuang modern Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Teungku Chik di Tiro, semua mengukir sejarah bahwa bangsa Aceh tidak pernah rela dijajah. Tapi kekuasaan demi kekuasaan datang silih berganti, dengan satu kesamaan: menjadikan Aceh sebagai korban.
Perang Aceh, salah satu perang kolonial paling brutal dalam sejarah dunia, adalah bukti betapa biadabnya kekuasaan asing memperlakukan bangsa ini. Rakyat dibantai, kampung dibakar, ulama digantung, perempuan dan anak-anak diperkosa. Belanda menyebutnya “pacifikasi”, tapi bagi Aceh itu adalah penyiksaan berdarah yang tak terlupakan.
Dan luka itu belum selesai.
Ketika republik lahir, Aceh menyambut dengan penuh keikhlasan. Menyumbangkan emas untuk membeli pesawat pertama republik, membela kemerdekaan dengan darah, dan menawarkan wilayahnya untuk markas pertahanan. Tapi setelah Indonesia kokoh, Aceh kembali ditindas.
Konflik bersenjata 1976–2005 jadi babak kelam berikutnya. Dengan dalih keamanan nasional, kekuasaan pusat menerapkan operasi militer di bumi Aceh. Desa-desa dibakar, rakyat ditembak tanpa pengadilan, perempuan diperkosa, anak-anak kehilangan orang tua. Siapa yang bersuara dicap separatis. Siapa yang bertahan disebut pengkhianat.
Di era itu, bangsa Aceh kembali mengalami siksaan paling biadab dalam sejarah modern. Rakyat Aceh hidup di bawah bayang-bayang senjata, operasi razia malam, dan penculikan atas nama keamanan. Dunia bungkam, republik pura-pura tuli. Bahkan bangsa sendiri tega menyembelih saudaranya atas nama kekuasaan.
Aceh yang dizalimi, Aceh yang diperas, dan Aceh yang disiksa, sampai hari ini, masih menanggung luka batin kolektif yang belum sembuh. Meski konflik bersenjata telah berhenti, tapi bekas penyiksaan itu tak pernah hilang. Aceh tetap dicurigai, hasil buminya tetap dirampas, dan kebijakannya tetap dipaksa mengikuti kepentingan elit pusat.
Bangsa Aceh adalah bangsa yang gagah, tapi dikhianati berkali-kali. Bangsa yang sabar, tapi terus diuji di atas tanahnya sendiri. Bangsa yang di masa lalu mengalahkan Portugis, Belanda, dan Inggris, tapi hari ini dipaksa tunduk oleh bangsa yang dulu dibelanya.
Cukup sudah.
Dunia harus tahu bahwa bangsa Aceh masih hidup. Bahwa luka itu masih ada. Bahwa bangsa ini berhak menentukan nasibnya sendiri tanpa dicap separatis, tanpa dituduh makar, dan tanpa dihinakan.
Jika keadilan tak pernah hadir, jika kekuasaan terus biadab, maka jangan salahkan bila suara kemerdekaan kembali menggema.
Aceh tak pernah takut mati. Aceh hanya takut kehilangan marwah.
Bangsa Aceh bukan budak di negeri sendiri.
Kami bangsa merdeka yang pernah disiksa dengan biadab, tapi tak pernah hilang harga diri.
Hari ini, bangsa Aceh menuntut keadilan atau kemerdekaan. Tidak ada pilihan ketiga.