Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Mimpi Besar Generasi Muda Aceh: Dari Politik, Ekonomi, hingga Pendidikan Sejarah

Rabu, 04 Juni 2025 | 23:22 WIB Last Updated 2025-06-04T16:22:34Z

:




Di tengah hiruk pikuk dunia digital, konflik elit politik, dan kesenjangan ekonomi yang masih terasa di desa-desa, Aceh seolah kehilangan arah. Negeri beradat ini membutuhkan nafas baru, gagasan segar, dan keberanian generasi muda untuk meretas jalan menuju peradaban yang lebih bermartabat. Ada tiga hal pokok yang patut menjadi mimpi bersama generasi muda Aceh hari ini: politik yang berpihak, ekonomi yang mandiri, dan sejarah yang hidup dalam sanubari.


1. Mimpi Pemuda Aceh dalam Politik

Aceh pernah punya pemimpin yang bukan sekadar ahli strategi perang, tapi juga negarawan yang arif. Politik Aceh dulu adalah soal keberanian dan harga diri negeri. Kini, panggung politik lokal dipenuhi wajah lama, kepentingan pragmatis, dan manuver elite. Sementara itu, anak muda banyak yang memilih diam, apatis, atau sekadar jadi penonton di media sosial.

Sudah saatnya generasi muda Aceh tampil ke depan, ikut merancang agenda politik yang benar-benar berpihak kepada rakyat. Mereka perlu berani membangun partai lokal yang sehat, lembaga kepemudaan yang progresif, dan forum diskusi kritis di kampus, dayah, dan desa. Aceh membutuhkan pemimpin muda yang lahir dari kampung, paham denyut nadi rakyat, dan punya visi besar. Jika politik dibiarkan jadi urusan orang tua saja, maka masa depan Aceh akan kembali dipertaruhkan di tangan kelompok yang tak lagi peduli pada harga diri daerah.


2. Mimpi Ekonomi dan Kemandirian Desa Aceh

Dulu, desa-desa di Aceh jadi pusat kekuatan ekonomi. Pasar rakyat, pelabuhan tradisional, hingga koperasi kampung hidup subur. Kini, banyak desa sekadar jadi penerima dana desa tanpa program ekonomi berkelanjutan. Padahal, potensi pertanian, perikanan, hingga kerajinan tradisional di desa-desa Aceh luar biasa.

Generasi muda Aceh mesti kembali membangun mimpi soal kemandirian ekonomi desa. Mimpi itu bisa diwujudkan melalui koperasi syariah kampung, pertanian organik, industri kreatif, hingga digitalisasi UMKM desa. Tanpa itu, desa-desa Aceh hanya akan jadi ladang pencari suara saat pilkada, lalu kembali sunyi dan bergantung pada bantuan pemerintah. Pemuda Aceh harus jadi motor penggerak lahirnya ekonomi mandiri di kampung halaman, bukan sekadar pencari likes di media sosial.


3. Revitalisasi Pendidikan Sejarah di Aceh

Sejarah Aceh bukan sekadar nama jalan, pelajaran hafalan, atau kisah di buku teks. Sejarah adalah identitas, harga diri, dan sumber inspirasi. Sayangnya, pelajaran sejarah di Aceh hari ini minim jiwa. Generasi muda lebih akrab dengan tren TikTok ketimbang nama-nama Sultan Aceh atau ulama-ulama besar yang dulu disegani dunia.

Revitalisasi pendidikan sejarah menjadi sangat penting. Sekolah, dayah, meunasah, dan komunitas budaya harus kembali menjadikan sejarah lokal sebagai identitas. Bukan sekadar hafalan, tapi pelajaran tentang kebijaksanaan, keberanian, diplomasi, dan perjuangan. Saat anak muda Aceh sadar siapa dirinya dan sejarah negerinya, maka ia tak mudah diadu domba, tidak gampang kagum pada budaya luar, dan berani menulis sejarah baru bagi bangsanya.


Penutup

Aceh bukan negeri biasa. Ia negeri yang punya tradisi, warisan, dan peradaban besar. Di tengah krisis kepemimpinan, kegamangan ekonomi, dan kaburnya jati diri, generasi muda Aceh mesti tampil mengambil peran. Politik, ekonomi, dan sejarah harus kembali jadi panggung anak muda.

Bila pemuda Aceh kembali bermimpi besar, berani melawan arus pragmatisme, dan mau merawat warisan sejarah, maka insyaAllah Aceh akan kembali jadi negeri yang dihormati di nusantara dan dunia.

Karena Aceh dibangun oleh generasi pemberani, dan hanya akan diselamatkan oleh generasi yang berani pula.


Azhari 
Penulis, pemerhati sosial