Di tengah hiruk-pikuk sejarah perlawanan Aceh terhadap kolonialisme, nama Jenderal Kohler adalah salah satu yang tercatat dengan tinta darah. Tewasnya Kohler di depan Masjid Raya Baiturrahman tahun 1873 menjadi momen monumental dalam perjuangan rakyat Aceh mempertahankan harga diri dan tanah tumpah darahnya.
Ironisnya, Belanda justru mendirikan sebuah monumen di lokasi Kohler terbunuh. Monumen itu bukanlah sekadar tanda ingatan bagi mereka, tapi juga propaganda diam-diam untuk menegaskan superioritas kolonial. Kini, jejak Monumen Kohler yang dulu berdiri angkuh di Banda Aceh telah raib, namun ingatan sejarahnya tetap hidup di benak rakyat Aceh.
Monumen itu bagi kita bukan simbol kematian seorang jenderal, melainkan simbol perlawanan sebuah bangsa kecil yang tak gentar menghadapi kekuatan besar. Ia adalah lambang bahwa sekalipun tubuh manusia bisa dihancurkan, namun harga diri dan semangat kemerdekaan tak pernah bisa dibunuh.
Hari ini, sejarah itu harus terus diingat, bukan untuk membangkitkan kebencian, tetapi untuk menjaga warisan keberanian. Aceh pernah mengajarkan dunia, bahwa sekecil apa pun bangsa, selama kehormatan dan tanah air masih menjadi harga mati, penjajah tak akan pernah benar-benar menang.