Dalam riwayat perjuangan bangsa, selalu lahir suara-suara lantang dari mereka yang menolak tunduk pada ketidakadilan. Salah satunya datang dari seorang putra Aceh, Dr. Hasan Muhammad di Tiro, sosok yang tak hanya dikenal sebagai pemimpin gerakan, tetapi juga pemikir yang mencurahkan renungannya dalam kata-kata pedih, tajam, sekaligus membangunkan.
"Negara tanpa keadilan hanyalah satu sistem penjajahan berbaju hukum."
Kalimat ini bukan sekadar kritik, melainkan cermin pahit yang memantulkan wajah kekuasaan tanpa nurani. Ia menyibak topeng demokrasi yang sering kali menutupi wajah oligarki. Sebab memang, di banyak negeri, hukum tidak selalu berarti keadilan. Ada negara yang mengagungkan hukum, tapi lupa memberi ruang bagi keadilan itu sendiri.
Ketika hukum hanya melayani elite, Ketika aparat hanya menyayangi yang kuat, Ketika suara rakyat dianggap gangguan yang harus dibungkam,
Maka negara itu bukan lagi pelindung rakyat. Ia berubah menjadi penindas yang sah secara hukum. Kekuasaan yang diberi cap legalitas, tapi mengikis martabat manusia dan merampas hak-hak rakyat kecil.
Sejarah menunjukkan, di banyak zaman dan tempat, penjajahan tidak selalu datang dari bangsa asing. Kadang ia menjelma dalam bentuk negara itu sendiri — ketika rakyat diatur bukan demi keadilan, melainkan demi kelangsungan kekuasaan.
Dalam filsafat stoikisme, keadilan bukan sekadar aksesoris moral atau jargon politik. Ia adalah poros utama peradaban manusia. Tanpa keadilan, hukum hanyalah aturan kosong. Tanpa keadilan, negara hanyalah ladang penindasan. Marcus Aurelius berkata, “Keadilan adalah kekuatan paling mulia di semesta manusia.” Sebab ia bukan hanya mengatur, tetapi juga memanusiakan.
Nizar Muhammad pernah menulis:
"Lebih baik kehilangan segalanya demi keadilan, daripada memiliki segalanya dengan menginjaknya."
Sebab kekayaan, jabatan, dan kuasa tak lebih berharga daripada sebuah masyarakat yang menegakkan keadilan sebagai tiang utamanya.
Hari ini, suara Dr. Hasan Muhammad di Tiro kembali relevan. Di tengah maraknya ketimpangan, ketika hukum seolah tumpul ke atas dan tajam ke bawah, kita dipaksa bertanya:
Apakah negeri ini sebuah negara merdeka, atau sistem penjajahan baru yang berbaju hukum?
Negara yang benar, mestinya hadir untuk semua.
Bukan sekadar alat pelanggeng kekuasaan. Negara tanpa keadilan, bukan hanya gagal, tapi juga berbahaya. Sebab bila hukum kehilangan keberpihakan, bila keadilan hanya hiasan pidato, maka rakyat punya hak untuk menggugatnya.
Seperti kata seorang guru besar TK di bawah surau,
"Lebih baik kita menjadi orang kecil yang jujur, daripada menjadi penguasa yang lupa bahwa kelak setiap keputusan akan dimintai pertanggungjawaban."
Dan mungkin, itulah makna perlawanan sesungguhnya. Bukan sekadar melawan kekuasaan, tapi melawan ketidakadilan di manapun ia bercokol. Sebab keadilan bukan hak istimewa, melainkan hak asasi manusia.
Negara atau penjajahan — semuanya tergantung pada keberanian kita menegakkan keadilan.