Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Pasca Damai Aceh — Kemana Pengadilan HAM bagi korban konflik

Jumat, 06 Juni 2025 | 02:06 WIB Last Updated 2025-06-05T19:07:18Z




Sudah hampir 20 tahun damai diteken di Helsinki. Aceh kini dikenal dengan label “provinsi paling damai di Indonesia” — setidaknya di atas kertas. Tapi di balik kata “damai” itu, masih ada suara-suara lirih dari ibu yang kehilangan anaknya, dari istri yang suaminya tak pernah pulang, dari anak yang tumbuh tanpa ayah, dan dari para penyintas kekerasan masa konflik yang hingga kini belum pernah benar-benar mendapat keadilan.

Pertanyaannya sederhana: ke mana janji negara soal Pengadilan HAM untuk Aceh? Ke mana suara DPRA, Gubernur, dan elit-elit yang dulu begitu gagah berorasi soal keadilan bagi korban perang?

Janji Tinggal Janji

Dalam Nota Kesepahaman Helsinki 2005, salah satu poin penting adalah penegakan keadilan dan penghormatan HAM, termasuk pembentukan Pengadilan HAM di Aceh. Tapi hingga detik ini, janji itu hanya tinggal catatan di atas kertas. Tak pernah benar-benar diwujudkan. Negara lebih sibuk bicara soal investasi, otonomi khusus, pilkada, dan pembangunan gedung, tapi lupa membangun keadilan.

Ribuan kasus pelanggaran HAM berat di masa konflik Aceh tak pernah diadili. Tak ada satu pun jenderal, komandan operasi, atau pejabat tinggi yang dimintai pertanggungjawaban. Para korban hanya diberi selembar sertifikat “rekonsiliasi” atau sekadar paket bantuan sembako. Seolah luka berdarah bisa sembuh dengan uang dan proyek.

Elit Aceh Juga Diam

Yang lebih menyakitkan, elit Aceh yang dulu bersumpah di hadapan rakyat untuk memperjuangkan keadilan kini ikut bungkam. Mereka lebih sibuk memperebutkan jabatan, proyek multiyears, dan posisi politik ketimbang bicara soal HAM. Padahal merekalah yang dulu berdiri di barisan depan menyebut kata-kata suci: keadilan bagi korban.

Kini, isu Pengadilan HAM di Aceh nyaris tak terdengar. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh pun nasibnya terkatung-katung. Alih-alih didukung, lembaga ini justru dibiarkan sekarat tanpa anggaran, tanpa political will, tanpa keberanian dari pejabat lokal.

Aceh Tak Akan Pernah Damai Sepenuhnya Tanpa Keadilan

Dunia boleh memuji perdamaian Aceh. Tapi perdamaian tanpa keadilan adalah perdamaian semu. Damai di atas luka yang ditutupi, bukan disembuhkan. Aceh boleh saja membangun jalan, gedung, dan jembatan. Tapi selama para korban pelanggaran HAM belum mendapat keadilan, damai itu cacat.

Damai sejati adalah ketika korban didengar, pelaku diadili, dan sejarah kelam diakui secara jujur di depan publik. Tanpa itu, Aceh hanya akan menjadi panggung politik transaksional, tempat para elit bersandiwara, sementara luka rakyat tetap membusuk di dalam diam.


Maka Sudah saatnya DPRA, Gubernur, dan seluruh elit Aceh bangun dari tidur panjang. Aceh tidak hanya butuh proyek dan jabatan, Aceh butuh keberanian menuntut janji lama yang hingga kini tak ditepati: Pengadilan HAM bagi korban konflik.

Karena damai tanpa keadilan, hanya akan menjadi bom waktu.