Di sebuah ruang arsip di Prancis, tersimpan sebuah peta tua yang bagi dunia mungkin hanyalah lembaran sejarah biasa — tetapi bagi bangsa Aceh, itu adalah saksi bisu tentang kejayaan, marwah, dan harga diri yang pernah menggetarkan dunia. Peta Kerajaan Aceh Darussalam itu menggambarkan jalur-jalur laut yang sibuk, titik-titik pelabuhan yang padat, dan garis-garis perbatasan yang menunjukkan betapa luas dan strategisnya kekuasaan Aceh di masa lampau.
Peta itu jelas menggambarkan satu hal: Aceh bukanlah wilayah kecil di ujung Sumatra yang hanya menjadi penonton sejarah Nusantara. Aceh adalah sebuah kerajaan besar, kaya, dan disegani — penghasil emas terbaik, rempah paling dicari, dan menjadi titik transit utama dalam jaringan perdagangan internasional yang menghubungkan Timur Tengah, India, Tiongkok, hingga Eropa.
Wajar bila kemudian Aceh diakui sebagai salah satu negeri terkaya di dunia saat itu. Kerajaan-kerajaan Eropa datang bukan sekadar berteman, tapi juga bersiasat. Portugis, Belanda, Inggris, dan bahkan Turki Utsmani pun menjalin hubungan diplomatik dan militer dengan Aceh. Jalur laut yang kini terlihat jelas dalam peta tua itu adalah jalur yang mempertemukan bangsa-bangsa, jalur yang menjadi urat nadi perdagangan dan penyebaran Islam ke Asia Tenggara.
Sayangnya, apa yang dulu menjadi kebanggaan itu kini nyaris dilupakan anak cucu bangsanya sendiri. Situs sejarah terbengkalai, manuskrip-musnkrip tua diabaikan, bahkan peta kuno yang seharusnya kembali ke pangkuan Aceh justru nyaman tersimpan di negeri asing.
Hari ini, di tanah Aceh, generasi muda lebih hafal rute ke warung kopi daripada jalur pelayaran nenek moyangnya. Lebih akrab dengan akun TikTok daripada lembaran sejarah di museum. Padahal di sanalah jejak jati diri kita ditulis.
Peta tua di Prancis itu bukan sekadar peta, tetapi simbol kehilangan kita akan kebesaran diri. Sebuah gambaran tentang bangsa yang dulu disegani, kini hanya jadi lembaran catatan kaki di buku sejarah.
Sudah saatnya Aceh bangkit — bukan dengan nostalgia kosong, tapi dengan gerakan nyata merawat sejarah, membangkitkan kembali ingatan kolektif, dan menulis ulang kisah kejayaan Aceh dengan cara yang bermartabat. Mulai dari pendidikan, dokumentasi sejarah, hingga diplomasi budaya untuk mengembalikan aset-aset sejarah yang tercecer di luar negeri.
Karena sejarah bukan hanya soal masa lalu, tapi tentang cara kita membangun harga diri hari ini, dan arah masa depan esok.