Serdadu Belanda itu memang hanya tampak bersepeda di atas rel di Sigli, Pidie, tahun 1908. Tapi di balik gambar itu, tersimpan cerita perampasan tanah, pemaksaan kehendak, dan kehancuran harga diri sebuah bangsa.
Rel kereta yang dibangun penjajah itu bukan untuk kesejahteraan rakyat Aceh. Rel itu dibangun untuk mempermudah Belanda mengangkut hasil bumi Aceh: kopi, lada, emas, hingga hasil perkebunan paksa, menuju kapal-kapal dagang mereka di pelabuhan Ulee Lheue dan Krueng Raya.
Di sepanjang rel itu, banyak rakyat dipaksa kerja rodi. Banyak pula syuhada Aceh syahid demi membela tanahnya yang diinjak-injak. Foto itu bukan sekadar nostalgia. Itu adalah pengingat bahwa Aceh pernah disakiti. Bahwa Aceh pernah dikhianati.
Hari ini, luka itu belum benar-benar sembuh. Rel dan sepeda boleh hilang, tapi ketidakadilan masih berjalan. Sumber daya Aceh masih diangkut ke pusat. Rakyat Aceh masih jadi penonton di tanah sendiri.
Karena itu, sejarah harus diingat.
Bukan untuk menyimpan dendam, tapi agar generasi muda Aceh tahu:
Siapa yang pernah menzalimi negeri ini, dan siapa yang harus membangunkannya kembali.
Azhari