Setiap tanggal 9 Dzulhijjah, ketika jutaan umat Islam dari seluruh penjuru dunia berkumpul di Padang Arafah, sesungguhnya bukan sekadar menjalankan salah satu rukun haji, melainkan tengah menjalani sebuah episode sakral yang menyentuh dasar kemanusiaan. Wukuf bukan hanya ritual, tetapi peringatan keras tentang hakikat hidup, tentang persaudaraan, dan tentang ke mana akhirnya kita semua akan kembali.
Arafah: Miniatur Padang Mahsyar
Di Arafah, manusia dikumpulkan dalam satu tempat tanpa sekat jabatan, tanpa atribut kemewahan, tanpa gengsi. Semua sama — laki-laki dan perempuan, kulit hitam dan putih, pejabat dan rakyat jelata — berdiri di bawah langit yang sama, di hadapan Allah Yang Maha Kuasa.
Inilah miniatur Padang Mahsyar, di mana nanti manusia akan dikumpulkan untuk mempertanggungjawabkan seluruh amal. Panas terik di Arafah seolah ingin menyentil kesadaran kita, bahwa kelak panasnya akhirat jauh lebih dahsyat dari itu. Jika di dunia saja kita tak sanggup berlama-lama dalam panas, bagaimana kelak ketika amal tak cukup untuk menyelamatkan kita dari dahsyatnya azab?
Ukhuwah Islamiyah Tanpa Batas
Wukuf juga momentum perwujudan ukhuwah Islamiyah paling nyata. Di sana, tak ada lagi bendera negara, tak ada lagi kasta ekonomi. Semua larut dalam kalimat Laa ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah. Semua menuju arah yang sama, menghadap Allah dengan hati bersih, saling mendoakan, dan saling berbagi kisah.
Betapa indahnya, jika semangat persaudaraan di Arafah bisa dibawa pulang ke tanah air masing-masing, diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dunia Islam hari ini terlalu banyak dipecah oleh ego politik, sentimen etnis, dan perbedaan mazhab. Padahal, Arafah telah mengajarkan bahwa di hadapan Allah, kita semua sama, dan persaudaraan jauh lebih utama daripada perbedaan.
Hari Didoakan, Hari Dikabulkan
Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik doa adalah doa di hari Arafah” (HR. Tirmidzi). Momentum wukuf adalah waktu mustajab yang sangat jarang, di mana doa-doa diangkat tanpa hijab. Itulah sebabnya, umat Islam di seluruh dunia — meski tidak berhaji — tetap disunahkan untuk memperbanyak doa dan amalan di hari itu.
Betapa indahnya, jika setiap orang mulai hari ini mencatat doa-doa pribadinya, titipan doa dari keluarga, sahabat, dan saudara seiman. Ketika doa-doa itu terkumpul, lalu dibacakan pada malam-malam ganjil Ramadhan dan di hari Arafah, akan terasa betapa kuatnya ikatan hati sesama muslim dalam lingkaran doa yang tak terputus.
Refleksi untuk Negeri
Jika suasana Arafah bisa menghadirkan ketundukan total umat Islam pada Allah, mengapa suasana seperti itu sulit sekali hadir di negeri-negeri Muslim? Mengapa di tanah air kita masih ada ego sektoral, fitnah, dan pertikaian yang tak kunjung padam? Seolah hanya di Arafah umat Islam mampu bersatu.
Kita butuh membumikan semangat Arafah di tanah kita. Bahwa ukhuwah Islamiyah bukan hanya slogan di tempat suci, tapi harus menjadi napas di kampung, kota, hingga gedung-gedung kekuasaan. Bahwa keadilan, persaudaraan, dan cinta kasih itu bukan sekadar wacana di mimbar, tapi harus hadir dalam kebijakan dan pergaulan sosial.
Penutup
Arafah adalah panggilan jiwa. Bukan hanya untuk yang berhaji, tapi untuk seluruh umat Islam di manapun berada. Ia adalah pengingat bahwa dunia hanyalah persinggahan, dan kehidupan sejati menanti di akhirat. Semoga kita semua bisa mengambil hikmah dari wukuf di Arafah, memupuk ukhuwah, memperbanyak doa, dan membangun negeri ini dengan semangat persaudaraan yang tulus.
MasyaAllah Tabarakallah. Aamiin Allahumma Aamiin.