"Aceh Bak Mata Dôya dan Aceh di Mata Generasi Muda: Antara Kemuliaan Sejarah dan Tantangan Masa Depan"
Aceh, atau yang dalam sejarah dikenal sebagai Serambi Mekkah, bukan sekadar sepetak wilayah di ujung barat Nusantara. Aceh adalah mata dôya — istilah dalam tradisi rakyat yang menggambarkan sesuatu yang sangat berharga, dijaga, dan menjadi pusat tumpuan harapan. Dalam sejarah panjangnya, Aceh berdiri dengan kebesaran, dihormati karena keilmuan, disegani karena keberanian, dan dicintai karena kekuatan budaya serta agamanya. Namun kini, ketika generasi muda memandang ke belakang, adakah mereka melihat Aceh dengan kekaguman yang sama? Atau justru hanya menemukan reruntuhan narasi yang mulai terlupakan?
Aceh Bak Mata Dôya: Sebuah Warisan Agung
“Mata dôya” bukan hanya bermakna simbolis, tetapi juga sarat nilai. Aceh pada masa lalu adalah cahaya dalam kegelapan kolonial. Kesultanan Aceh Darussalam menjadi episentrum ilmu, diplomasi Islam, serta perlawanan terhadap penjajahan. Dayah-dayah menjelma sebagai mercusuar ilmu pengetahuan dan etika, sementara ulama menjadi pelita dalam menentukan arah bangsa. Para syuhada berbaris dalam sejarah, mempersembahkan darah mereka demi kemerdekaan tanah air.
Aceh pernah berdiri sejajar dengan Turki Utsmani dan menjalin hubungan diplomatik dengan dunia luar, bahkan lebih dahulu dari beberapa wilayah lain di nusantara. Di masa lampau, pemuda Aceh terlibat dalam perjuangan nyata — bukan sekadar bermain kata-kata, tapi mengangkat senjata, pena, dan doa demi mempertahankan kehormatan tanah tumpah darah.
Di Mata Generasi Muda: Antara Cinta, Jarak, dan Lupa
Namun, bagaimana Aceh dilihat oleh generasi muda hari ini? Banyak yang mulai jauh dari akar sejarah, buta akan makna perjuangan, dan lebih akrab dengan game daring daripada dengan kitab kuning. Sebagian besar pemuda kita kini mengagungkan konten viral daripada meneladani ulama dan syuhada. Di warkop-warkop Aceh, lebih banyak perbincangan soal taruhan bola ketimbang diskusi tentang masa depan Aceh.
Apakah ini bentuk kegagalan pendidikan sejarah kita? Atau karena sistem sosial yang kurang memberi tempat pada identitas kolektif Aceh dalam kurikulum dan ruang publik?
Menghidupkan Kembali Dôya Itu: Jalan Panjang Kesadaran
Agar Aceh kembali menjadi "mata dôya", generasi muda harus dipanggil untuk menyadari jati dirinya. Mereka perlu kembali dikenalkan dengan tokoh-tokoh besar Aceh seperti Sultan Iskandar Muda, Pocut Meurah Intan, Cut Nyak Dhien, Tgk. Chik di Tiro, Abuya Muda Waly, dan sederet nama besar lainnya.
Perlu ada transformasi digital sejarah Aceh — mengenalkan kisah-kisah perjuangan lewat konten kreatif, film dokumenter, podcast, hingga forum-forum anak muda yang menghidupkan diskusi sejarah. Jika generasi muda tidak disentuh dengan narasi inspiratif, maka narasi lain akan mencuri kesadaran mereka.
Antara Kearifan Lokal dan Era Digital
Aceh tak boleh hanya jadi romantisme masa lalu. Ia harus dibawa hidup ke masa kini. Dalam dunia yang serba digital, generasi muda Aceh justru punya potensi luar biasa untuk menyebarkan nilai-nilai luhur Aceh ke dunia. Identitas Aceh yang islami, berbudaya, dan kritis bisa menjadi kekuatan soft diplomacy.
Kita butuh gerakan pemuda yang melek sejarah, mencintai kampung halamannya, dan mampu berpikir global. Kita butuh pemuda yang bisa memimpin perubahan, bukan sekadar jadi pengikut tren. Kita butuh santri digital, pebisnis muda yang bermoral, dan influencer yang menanamkan nilai-nilai kebaikan di jagat maya.
Saatnya Generasi Bangkit Menjadi Mata Dôya Aceh
Aceh bukan sekadar nama. Ia adalah jiwa yang terus hidup dalam denyut sejarah, budaya, dan keyakinan. Generasi muda Aceh hari ini bukan hanya pewaris, tapi juga penjaga dan penentu arah masa depan. Jika mereka kembali menyadari kemuliaan warisan mereka, maka Aceh akan kembali menjadi mata dôya — cahaya yang bukan hanya terang bagi dirinya, tetapi juga bagi nusantara dan dunia.
Mari kita pilih: ingin jadi generasi yang melupakan, atau generasi yang membangkitkan kembali kejayaan?