Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Generasi Muda yang Kehilangan Moral di Era Digital: Peringatan untuk Aceh

Kamis, 24 Juli 2025 | 10:50 WIB Last Updated 2025-07-24T03:50:49Z

 

Aceh pernah dikenal sebagai Serambi Mekkah. Sebutan itu bukan sekadar simbol agama, tapi representasi kuatnya moral, adat, dan nilai-nilai keislaman yang hidup dalam denyut masyarakat. Namun kini, seiring gelombang era digital yang tak terbendung, nilai-nilai itu mulai tergerus — khususnya di kalangan generasi muda.

Kita menyaksikan perubahan yang mencemaskan: anak muda Aceh yang dulunya bangga dengan identitas keislaman dan kearifan lokal, kini banyak yang tersesat dalam arus konten kosong, budaya pamer, dan gaya hidup hedonis ala media sosial. Mereka hidup dalam dunia maya yang serba cepat, instan, dan seringkali hampa dari etika dan akhlak.

Era Digital: Pisau Bermata Dua

Teknologi digital sejatinya adalah anugerah. Ia membuka akses terhadap ilmu, jejaring global, dan peluang kreatif. Namun, tanpa benteng moral dan bimbingan yang kuat, digitalisasi berubah menjadi jebakan — bukan jembatan peradaban.

Di media sosial, generasi muda Aceh dengan mudah mengakses dan meniru gaya hidup yang bertentangan dengan budaya dan nilai agama. Konten vulgar, flexing (pamer kekayaan), pergaulan bebas, dan candaan-candaan tak pantas kini dianggap biasa. Bahkan, tak sedikit yang sengaja memviralkan hal-hal tak bermoral demi popularitas dan likes semu.

Bukan hanya soal individu. Fenomena ini adalah cermin kegagalan kolektif: keluarga, sekolah, tokoh agama, hingga pemerintah daerah yang belum benar-benar hadir mengawal generasi muda dalam menghadapi era digital.

Gejala Krisis Moral di Kalangan Anak Muda Aceh

  1. Normalisasi Kemaksiatan
    Banyak anak muda yang terang-terangan memamerkan pacaran bebas, berpakaian tidak sopan, hingga mengunggah video joget-joget sensual di TikTok, bahkan dengan latar masjid atau tempat ibadah. Padahal di masa lalu, remaja Aceh dikenal santun, malu, dan memegang adat sebagai prinsip hidup.

  2. Hilangnya Adab kepada Orang Tua dan Guru
    Muncul generasi yang pandai berbicara di dunia maya tapi kasar di dunia nyata. Hormat kepada guru, taat kepada orang tua, perlahan menjadi nilai kuno. Kini, yang dihormati adalah selebgram dan influencer, bukan ulama atau tokoh masyarakat.

  3. Rendahnya Literasi Moral dan Agama
    Banyak generasi muda yang cerdas secara teknologi, namun miskin nilai. Mereka bisa mengedit video dengan canggih, tapi tak paham makna adab, dosa, dan tanggung jawab sosial. Agama dianggap beban, bukan cahaya.

  4. Kecanduan Gengsi dan Popularitas Virtual
    Seolah hidup hanya untuk dipamerkan. Setiap momen harus diunggah. Setiap aksi harus viral. Demi konten, banyak yang rela menggadaikan harga diri, bahkan identitas Aceh yang mulia.

Di Mana Peran Keluarga, Dayah, dan Pemerintah?

Krisis moral ini tak bisa diatasi hanya dengan ceramah atau hukuman. Kita butuh pendekatan yang menyentuh hati dan akal. Keluarga adalah sekolah pertama. Jika ayah-ibu sibuk bermain HP dan lalai mendidik, jangan heran jika anak tersesat dalam dunia digital.

Dayah dan ulama Aceh perlu memperbarui cara dakwahnya agar relevan dengan zaman. Gunakan platform digital bukan untuk mengutuk, tapi untuk membimbing. Jangan biarkan anak muda hanya ditemani algoritma media sosial tanpa penyeimbang spiritual.

Pemerintah daerah, khususnya Dinas Syariat Islam dan Dinas Pendidikan, harus keluar dari zona nyaman. Qanun tidak cukup tanpa edukasi moral yang menyentuh akar. Program literasi digital berbasis nilai Islam, pelatihan kreatif bermuatan moral, dan ruang aman bagi anak muda untuk berkarya sangat diperlukan.

Refleksi: Masihkah Aceh Layak Disebut Serambi Mekkah?

Julukan itu bukan diwariskan, tapi dijaga. Jika generasi mudanya rusak moral, maka hilanglah wajah Aceh yang selama ini dibanggakan. Kita tidak anti kemajuan, tetapi kemajuan tanpa moral hanyalah jalan menuju kehancuran.

Sudah saatnya kita sebagai masyarakat bangkit: memperbaiki rumah tangga, memperkuat nilai di sekolah, memaksimalkan peran ulama dan guru, serta menghadirkan pemerintah yang tak hanya sibuk pada proyek, tetapi juga peduli pada akhlak generasi.

Aceh Butuh Generasi Beriman, Bukan Sekadar Viral

Generasi muda adalah aset masa depan. Jika hari ini mereka kehilangan arah, maka sepuluh tahun ke depan Aceh akan kehilangan martabatnya. Kita harus menyelamatkan mereka, bukan dengan menghukum, tapi dengan membimbing. Kita harus membangkitkan kembali kesadaran bahwa hidup bukan untuk pamer, tapi untuk memberi makna.

“Jika moral generasi muda hancur, maka tunggulah kehancuran satu bangsa. Tapi jika mereka bangkit dengan akhlak, maka masa depan akan bersinar kembali.”

Mari jaga Aceh, bukan hanya dari luar, tapi dari dalam — dari hati generasi mudanya.