Ingat Ayahmu, Demi Untukmu: Jangan Benci dan Lupakan Mereka Ketika Kamu Sudah Jauh
Di dunia yang terus berlari kencang ini, kadang kita lupa siapa yang dulu rela berjalan kaki agar kita bisa naik kendaraan. Kita terlalu sibuk mengejar mimpi, karier, cinta, dan kenyamanan, hingga lupa bahwa di balik keberhasilan yang kita nikmati hari ini—ada sosok tua yang dulu menahan lapar demi memastikan kita kenyang. Dia adalah ayah.
Ayah memang tidak selalu pandai menunjukkan kasih sayang lewat kata-kata. Ia jarang menangis di depan kita, jarang mengelus kepala seperti ibu, dan bahkan mungkin tak banyak tersenyum. Tapi jangan salah, di balik diamnya, ada cinta yang tak berbatas. Ia tidak banyak bicara, tapi hatinya selalu bicara kepada Tuhan tentang keselamatan kita. Ia tidak selalu ada di rumah, tapi percayalah, ia sibuk bekerja demi rumah itu tetap berdiri.
Ketika kita sudah jauh dari kampung halaman, ketika langkah kaki kita telah sampai ke kota besar, ke negeri orang, ke tangga kesuksesan—jangan sampai kita meninggalkan hatinya di ambang pintu. Jangan benci, apalagi lupa. Mungkin dulu ia keras, mungkin dulu ia marah, mungkin dulu ada luka yang belum sembuh. Tapi ingatlah, semua itu dilakukan bukan karena ia benci, melainkan karena ia ingin kita lebih kuat daripada dirinya.
Setiap anak akan dewasa. Tapi tidak semua anak mampu menjadi anak yang dewasa dalam kasih. Banyak yang tumbuh tinggi secara usia dan prestasi, namun mengecil dalam rasa syukur kepada orang tuanya. Jangan jadi seperti itu. Jangan sombong dengan gelar, harta, dan jabatan yang kamu punya, bila di sisi lain kamu telah mengubur sosok yang paling berjasa dalam diam dan lupa.
Benci kepada ayahmu tidak akan menyembuhkan luka masa lalu, justru akan memperpanjang rantai kepedihan. Tapi memaafkannya, mendoakannya, dan merangkulnya kembali—itulah bentuk kematangan hatimu.
Wahai anak muda, siapa pun kamu hari ini, apa pun pencapaianmu, pulanglah sesekali. Peluk ayahmu. Lihat matanya yang mulai kabur, tubuhnya yang tak lagi sekuat dulu, tangannya yang dulu menggenggam tanganmu kini menggigil memanggil namamu.
Ingatlah, ayahmu pernah menjadi pahlawan pertamamu. Maka jangan pernah membuatnya menjadi orang asing di sisa hidupmu.
Penulis Azhari