"Pahit Ayah dan Ibu, Demi Kamu Besar dan Sukses"
Hidup ini tidak pernah dibangun di atas kemudahan. Tapi kadang, anak-anak yang tumbuh di atas pengorbanan orang tua, justru lupa bahwa keberhasilannya hari ini adalah buah dari kepahitan yang ditelan diam-diam oleh ayah dan ibu mereka.
Tidak ada keberhasilan yang jatuh dari langit. Ia ditumbuhkan, disirami, dan dijaga oleh cinta tanpa pamrih. Dan cinta itu—bernama ayah dan ibu.
Mereka yang tak pernah minta balasan. Hanya ingin melihatmu tumbuh sehat, sekolah tinggi, bekerja baik, dan hidup bahagia.
Tahukah kamu, betapa pahitnya hidup yang pernah mereka jalani?
Ayah rela menahan lapar, agar kamu bisa membawa bekal ke sekolah.
Ibu diam-diam menjahit baju tetangga hingga larut malam, agar kamu bisa beli buku baru.
Kadang mereka berdebat bukan karena benci, tapi karena bingung harus memilih: bayar listrik atau beli susu.
Tapi mereka tidak pernah mengeluh di depanmu. Mereka hanya tersenyum, menyembunyikan perih, karena yang penting: kamu jangan tahu rasa pahit itu.
Dan kini, ketika kamu sudah besar, punya gaji, kendaraan, jabatan, bahkan mungkin keluarga sendiri—masihkah kamu ingat kepahitan itu?
Jangan pernah malu pada masa lalu orang tuamu. Jangan lupakan tangan kasar ayahmu yang dulu memanggul semen, dan tangan ibu yang keriput karena terlalu sering meremas cucian.
Mereka tidak butuh hartamu. Mereka tidak menuntut pengakuan.
Mereka hanya ingin tahu: Apakah kamu masih ingat? Apakah kamu masih peduli?
Karena bagi mereka, semua kepahitan itu sudah lunas dibayar saat melihatmu bisa berdiri tegak hari ini.
Tapi jangan sampai kamu yang hari ini berdiri, justru lupa pada siapa yang dulu berlutut demi masa depanmu.
Bersyukurlah. Dan jangan sombong.
Sebab tidak semua orang tua kuat menelan pahit demi anaknya. Dan tidak semua anak sadar bahwa ia tumbuh dari keringat dan air mata yang tidak pernah ditagih.