Masa hidup manusia bagaikan helai waktu yang terus berlalu tanpa menunggu. Namun seringkali kita terlena pada rutinitas, mementingkan hal-hal sepele, hingga terlupa bahwa usia kita terbatas. Sebuah “pengingat waktu sebelum meninggal” bukan bermaksud menakuti, melainkan menyadarkan kita untuk menghargai setiap detik—memastikan tidak ada penyesalan di akhir perjalanan.
Pertama, kesadaran akan kefanaan memotivasi kita menjalani hidup dengan lebih bermakna. Alih-alih menunda pertemuan dengan orang terkasih, menunda ungkapan maaf, atau menunda impian, kita terdorong untuk bertindak sekarang juga. Setiap pagi adalah kesempatan baru untuk memperbaiki diri, memberi manfaat, dan meninggalkan jejak kebaikan. Dengan menyadari keterbatasan waktu, kita jadi lebih selektif menghabiskan energi: memilih keakraban daripada kesepian virtual, memilih karya dan kontribusi daripada sekadar konsumerisme.
Kedua, pengingat ini menguatkan pentingnya persiapan spiritual dan emosional. Banyak tradisi keagamaan dan filsafat menekankan memento mori—ingatlah bahwa kamu akan mati—sebagai cara mendekatkan diri pada nilai-nilai luhur. Dengan berbekal kesadaran itu, kita lebih fokus pada apa yang benar-benar abadi: kasih sayang, kejujuran, dan warisan kebaikan. Akhirnya, waktu sebelum meninggal bukan hanya soal menghitung hari, tetapi tentang bagaimana hari-hari itu kita isi.
Jadi, mari jadikan kesadaran akan kefanaan sebagai lentera: memandu kita hidup dengan penuh cinta, tanggung jawab, dan rasa syukur. Karena ketika saat terakhir tiba, kita boleh berdiam tenang, tahu bahwa setiap detik hidup telah kita maknai sepenuh hati.