Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Takut Mati, Tapi Maksiat Dilanjutkan: Saat Dosa Dianggap Mainan

Kamis, 24 Juli 2025 | 10:23 WIB Last Updated 2025-07-24T03:24:05Z


Kematian adalah kepastian. Ia datang tanpa permisi, tanpa melihat umur, jabatan, atau status sosial. Kita semua takut mati — bahkan yang paling berani sekalipun akan gemetar ketika ajal menjelang. Namun ironi besar muncul dalam kehidupan manusia hari ini: meski takut mati, maksiat tetap dilanjutkan; meski tahu dosa, namun tetap dilakukan, seolah-olah hanya sebuah permainan.

Inilah salah satu krisis spiritual paling mengkhawatirkan di zaman modern — ketika dosa tidak lagi dianggap sebagai kejahatan, tetapi hiburan; ketika perbuatan maksiat tidak lagi menimbulkan rasa malu, tetapi justru dirayakan.

Dosa yang Dirayakan, Bukan Disesali

Kita hidup di era di mana batas antara baik dan buruk menjadi kabur. Musik yang merangsang nafsu, pakaian yang membuka aurat, candaan yang menghina agama, bahkan hubungan di luar nikah — semua dikemas dalam istilah yang lebih ‘ramah’: konten, hiburan, tren, kebebasan berekspresi.

Tak jarang kita mendengar orang berkata, “Ah, yang penting hatiku baik.” Seakan-akan maksiat bisa ditutupi oleh klaim keikhlasan. Padahal, hati yang baik akan malu jika tubuhnya terus melakukan keburukan.

Fenomena ini makin menguat ketika media sosial menjadi panggung utama. Banyak yang menjadikan dosa sebagai materi konten. Berdua-duaan yang bukan mahram, pamer kemewahan dari hasil korupsi, joget-joget sensual — semua mendapat jutaan likes dan komentar lucu. Dosa berubah menjadi hiburan massal.

Takut Mati Tapi Tak Siap Menghadap-Nya

Kematian tak pernah bisa ditebak. Namun, betapa sering kita menundanya dalam pikiran, lalu hidup seolah tidak akan mati. Banyak yang takut mati, tapi tak pernah menyiapkan diri untuk menghadap Sang Pencipta. Lebih sibuk memoles penampilan dunia daripada membersihkan hati.

Saat sakit parah, lidah kita gemetar menyebut Allah. Tapi ketika sehat, lisan kita ringan menyebar gosip dan fitnah. Saat ada bencana, kita menangis dan bersujud. Tapi setelah itu, maksiat kembali dilakukan, seolah kematian belum dekat.

Ini bukan semata masalah iman, tapi juga bukti bahwa kesadaran kita telah tertidur. Kita tahu bahwa dunia ini fana, tapi tetap mengejarnya mati-matian. Kita tahu bahwa surga itu indah, tapi enggan mengejar amalan untuk ke sana.

Dosa Tak Lagi Membuat Hati Bergetar

Dalam ajaran Islam, salah satu tanda iman yang sehat adalah ketika seseorang merasa gelisah saat berbuat dosa. Tapi hari ini, banyak yang bisa tertawa setelah bermaksiat. Bahkan sebagian menjadikan dosa sebagai rutinitas harian.

Lebih parah lagi, banyak orang yang saling menormalisasi kemaksiatan. Ketika seseorang ingin bertaubat, malah dikejekan. Ketika seseorang ingin berubah, justru dianggap sok suci. Maka, tak heran jika dosa dianggap biasa. Karena lingkungan sosial pun telah ikut membenarkannya.

Saatnya Kembali Tersadar

Tanda orang cerdas adalah ia yang sadar bahwa hidup ini singkat, dan mempersiapkan bekal untuk kematian. Bukan hanya takut mati, tapi juga takut pada apa yang terjadi setelah mati: hisab, siksa kubur, dan pertanggungjawaban amal.

Kita harus kembali jujur pada diri sendiri. Apakah kita benar-benar takut mati? Kalau iya, mengapa maksiat tetap dilakukan? Mengapa taubat terus ditunda? Jangan sampai kematian datang saat kita sedang tertawa di atas dosa.

Penutup: Jadikan Takut Mati Sebagai Jalan Taat

Takut mati itu wajar, tapi jangan hanya takut. Jadikan ketakutan itu sebagai energi untuk berubah. Berhenti mempermainkan dosa. Berhenti menganggap maksiat sebagai hiburan. Karena setiap detik yang kita habiskan dalam maksiat, adalah detik yang mendekatkan kita ke kematian dalam keadaan buruk.

"Jika benar kita takut mati, maka sudah seharusnya kita takut hidup dalam dosa."

Sudah waktunya kembali — bukan hanya secara penampilan, tapi juga secara niat, amal, dan hati. Sebelum kematian menjemput dalam keadaan kita sedang mempermainkan dosa, dan terlambat untuk menyesal.


Opini ini adalah refleksi diri untuk kita semua. Bukan untuk menghakimi, tapi untuk saling mengingatkan bahwa hidup terlalu singkat untuk bermain-main dengan dosa, dan terlalu berharga untuk dihabiskan dalam kemaksiatan.