Abu Tanjong Bungong: Penjaga Tradisi Keilmuan Aceh
Ulama dan Jejak Keilmuan di Tanah Rencong
Aceh memiliki sejarah panjang sebagai tanah ulama. Dari masa Kesultanan Aceh Darussalam hingga hari ini, warisan intelektual Islam tumbuh melalui dayah-dayah. Dayah bukan hanya tempat belajar agama, tetapi juga benteng moral, budaya, dan identitas masyarakat Aceh. Di antara sosok yang mewarisi tradisi tersebut adalah Teungku Haji Abdullah bin Teungku Ibrahim bin Teungku Muhammad, yang lebih dikenal dengan sebutan Abu Tanjong Bungong.
Beliau lahir pada Jumat, 16 Februari 1940 M / 9 Muharram 1359 H, di Gampong Alue Baroh, Seunuddon, Aceh Utara. Dari garis keluarga, beliau adalah putra dari Teungku Ibrahim dan Fatimah binti Ali bin Husein yang berasal dari Kaye Panyang, Bandar Dua. Sejak kecil, beliau tumbuh dalam lingkungan religius yang kental dengan tradisi dayah.
Sebagai putra tertua dari lima bersaudara, Abu Tanjong Bungong telah memikul tanggung jawab sejak dini. Namun tanggung jawab yang lebih besar beliau pikul sepanjang hayatnya: menjaga ilmu, membimbing generasi, dan melestarikan tradisi keilmuan Aceh.
Safari Ilmu yang Panjang
Seperti ulama Aceh pada umumnya, perjalanan Abu Tanjong Bungong ditempa melalui safari ilmu. Setelah menamatkan pendidikan dasar di Sekolah Rakyat (1946–1952), beliau tidak berhenti pada pendidikan formal. Jalan panjang menuntut ilmu beliau tempuh dari satu dayah ke dayah lain, meninggalkan rumah sejak usia belia demi mencari keberkahan ilmu.
- Dayah Gampong Meulum, Samalanga (1953–1956) menjadi titik awal beliau mendalami ilmu agama.
- Dayah Darul Hadiqatul Muarrif, Syamtalira Aron, Aceh Utara (1956–1957), memperluas cakrawala bersama Tgk. H. Syafi’i.
- Dayah Darul Huda Pante Breueh, Baktiya, Aceh Utara (1957–1959), berguru kepada Tgk. Abdul Ghani atau Tgk. Di Aceh, yang dikenal sebagai ulama kharismatik.
- Dayah Darul Ulum Tanoh Mirah, Peusangan, Bireuen (1959–1968), menjadi fase terpanjang dalam hidup beliau. Selama sembilan tahun, beliau berguru langsung kepada ulama besar, Tgk. H. Abdullah Hanafi (Abu Tanoh Mirah).
Perjalanan ini menunjukkan satu hal penting: keilmuan tidak pernah instan. Ia ditempa dengan kesabaran, keikhlasan, dan pengorbanan. Abu Tanjong Bungong menjadi teladan bagaimana ilmu harus dicari dengan penuh kerendahan hati.
Pimpinan Dayah dan Guru Umat
Seiring waktu, beliau kemudian mendirikan dan memimpin Dayah Babul Ulum Diniyah Islamiah Tanjong Bungong, Ulee Glee, Pidie Jaya. Dari dayah inilah beliau melanjutkan estafet tradisi keilmuan Aceh. Ribuan santri datang untuk belajar, bukan hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga dibentuk akhlak dan mentalitasnya.
Abu Tanjong Bungong dikenal sebagai ulama yang tegas dalam prinsip, namun lembut dalam bimbingan. Tegas karena beliau menjaga otentisitas ajaran Islam sesuai manhaj ahlussunnah wal jama’ah, namun lembut karena beliau membimbing masyarakat dengan kasih sayang.
Beliau bukan hanya guru di kelas, tetapi juga guru dalam kehidupan sehari-hari. Santri dan masyarakat mengenal beliau bukan sekadar dari ceramah atau kitab, melainkan dari keteladanan sikap: kesederhanaan, keikhlasan, dan kebijaksanaan.
Menjaga Tradisi Ilmu Hisab
Salah satu keistimewaan Abu Tanjong Bungong adalah beliau merupakan alumni perdana bidang Ilmu Hisab di Dayah Darul Falah. Ilmu hisab dalam tradisi keislaman Aceh memiliki kedudukan penting, terutama dalam penentuan kalender hijriah, arah kiblat, dan fenomena ibadah lainnya.
Kiprah beliau dalam bidang ini menunjukkan bahwa ulama Aceh tidak hanya fokus pada ilmu fikih atau tasawuf, tetapi juga mendalami cabang keilmuan yang bersifat aplikatif dalam kehidupan umat. Hal ini menandakan keluasan ilmu dan kesungguhan beliau dalam menjaga amanah keilmuan.
Refleksi: Ulama Sebagai Penjaga Marwah Aceh
Dalam suasana zaman yang semakin pragmatis, kehadiran ulama seperti Abu Tanjong Bungong adalah anugerah. Beliau menunjukkan bahwa ulama bukan hanya pengajar kitab, tetapi juga penjaga moral bangsa.
Di tengah masyarakat yang semakin sibuk dengan dunia digital, beliau tetap menghadirkan keteduhan dengan tradisi dayah. Dari sinilah kita belajar bahwa nilai ilmu, akhlak, dan silaturahmi jauh lebih abadi dibandingkan jabatan dan popularitas.
Kita sering menyaksikan bagaimana politik, kekuasaan, atau duniawi membuat orang mudah berpecah belah. Namun ulama seperti Abu Tanjong Bungong justru mengajarkan persatuan. Beliau adalah simbol bahwa ilmu adalah perekat, bukan pemecah.
Penutup
Hari ini, ketika banyak generasi muda lebih akrab dengan gawai daripada kitab kuning, ketika banyak orang lebih mengejar popularitas daripada keberkahan, kita memerlukan figur-figur seperti Abu Tanjong Bungong. Beliau adalah pengingat bahwa ilmu harus dijaga, tradisi harus dirawat, dan silaturahmi harus dipelihara.
Jejak beliau tidak berhenti pada nama besar, tetapi pada ribuan santri yang kelak akan melanjutkan tradisi keilmuan Aceh. Inilah warisan sejati: bukan harta, bukan jabatan, melainkan ilmu yang bermanfaat dan doa dari murid serta masyarakat.
Abu Tanjong Bungong adalah cermin bahwa ulama sejati adalah mereka yang menanam ilmu, menumbuhkan akhlak, dan menuai doa sepanjang hayat.