Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

“Bahasamu Membunuh Rakyatmu”

Jumat, 03 Oktober 2025 | 23:07 WIB Last Updated 2025-10-03T16:07:33Z

 

Kata-kata pemimpin tidak hanya mengisi ruang publik—mereka membentuk realitas. Saat seorang pemimpin berbicara, ribuan hingga jutaan telinga mendengar; ketika kata-kata itu menabur kebencian, ketakutan, atau kebohongan, akibatnya bukan sekadar retorika—itu dapat mematikan rasa aman, meruntuhkan solidaritas, dan dalam kasus ekstrem, mendorong tindakan yang melukai nyawa dan martabat manusia.

Bahasamu bukan netral. Ia mengarahkan naluri kolektif: menenangkan atau mengobarkan; memberi harap atau menabur putus asa; merangkul atau mengasingkan. Seorang pemimpin yang menggunakan bahasa untuk membangun musuh—mengotak-ngotakkan masyarakat atas dasar identitas, agama, suku, kelas, atau politik—sedang menanam bom sosial yang siap meledak ketika kondisi memicu.

Jargon yang dipakai untuk membenarkan tindakan represif—“mengamankan”, “menertibkan”, “pengaman moral”—bisa jadi selubung bagi pelanggaran hak asasi. Bahasa yang meremehkan, menghina, atau mendiskreditkan kelompok tertentu memudarkan rasa kemanusiaan; lama-kelamaan, normalisasi kebencian membuat kekerasan tampak wajar. Ini bukan teori dramatis—ini adalah hukum dasar komunikasi dan psikologi sosial.

Tetapi penting juga mengingat: kata-kata yang menyembunyikan fakta juga membunuh. Ketika pemimpin menutup-nutupi krisis—kesehatan, ekonomi, atau lingkungan—atau menyebarkan informasi palsu untuk mempertahankan citra, nyawa dan kesejahteraan publik tertunda mendapat perlindungan. Menunda kebijakan kesehatan, menutupi data, atau membiarkan misinformasi berkeliaran sama berbahayanya dengan retorika yang menghasut.

Tanggung jawab bahasa pemimpin bersifat ganda: etik dan praktis. Secara etis, pemimpin memiliki kewajiban mengutamakan kebenaran, menjaga martabat manusia, dan menahan diri dari retorika yang merendahkan. Secara praktis, kata-kata menentukan kebijakan, memengaruhi kepatuhan publik, dan membentuk iklim sosial yang mempengaruhi tingkat keamanan, investasi, pendidikan, dan kesehatan mental masyarakat.

Lalu apa yang harus dilakukan?

  1. Terapkan etika bicara publik. Pemimpin harus menimbang dampak kata-kata mereka: apakah ucapan itu memperjelas masalah, memberi solusi, atau justru memecah belah? Etika komunikasi publik wajib diajarkan dan dipraktikkan—bertanggung jawab tidak kalah penting dari berkuasa.

  2. Jaga fakta, lawan misinformasi. Transparansi data dan komunikasi krisis yang jujur menyelamatkan nyawa. Keterbukaan bukan kelemahan politik; ia adalah investasi kepercayaan publik yang esensial.

  3. Gunakan bahasa inklusif, bukan eksklusif. Mengundang seluruh warga untuk menjadi bagian solusi menciptakan kohesi sosial. Hindari istilah yang merendahkan kelompok tertentu atau mengesankan superioritas politik/kultural.

  4. Pertanggungjawaban atas ucapan. Jika kata-kata memicu kerusuhan, kebencian, atau pelanggaran hak, harus ada mekanisme akuntabilitas—publik berhak mendapat klarifikasi dan, bila serius, sanksi.

  5. Bangun literasi media dan retorika di masyarakat. Masyarakat yang kritis terhadap bahasa politik tidak mudah dimobilisasi untuk tujuan destruktif. Pendidikan publik tentang retorika, logika, dan verifikasi informasi adalah benteng.

Akhirnya, kata-kata pemimpin mencerminkan nilai yang ia bawa. Pemimpin yang menggunakan bicara untuk memperkaya wacana—mengakui kesalahan, mengajak berdialog, menawarkan solusi nyata—membuat ruang publik lebih aman bagi semua. Sebaliknya, ketika bahasa dipakai sebagai senjata politik, korbannya bukan hanya lawan politik—korban utamanya adalah rakyat yang mengalami erosi rasa aman, hilangnya akses ke kebenaran, dan terkikisnya empati sosial.

Jadi kepada setiap pemimpin: sadarilah bahwa setiap frasa yang keluar dari mulut Anda punya akibat. Jangan biarkan bahasamu menjadi senjata yang membunuh rakyatmu. Gunakanlah kata untuk menyembuhkan, bukan melukai; untuk menyatukan, bukan memecah.


Penulis Azhari