“Kedhaliman” bukan hanya kata—ia adalah jejak tindakan yang meninggalkan luka pada individu dan komunitas. Ketika kezaliman terjadi, di balik setiap keputusan, kebijakan, atau ucapan yang menindas selalu ada tangan yang bertanggung jawab. Menyalahkan sistem tanpa menunjuk pelakunya adalah keliru; menyebut tindakan itu sebagai takdir adalah pengkhianatan pada prinsip keadilan. Tangan yang menggenggam kuasa, tangan yang menulis peraturan, tangan yang mengarahkan aparat, bahkan tangan yang diam ketika seharusnya bersuara—semua itu memiliki nama, wajah, dan konsekuensi.
Pertama, keadilan menuntut kepastian siapa yang melakukan. Tanpa identifikasi pelaku, penyembuhan tidak mungkin dimulai. Memanggil tangan pelaku bukan sekadar mencari kambing hitam, melainkan usaha rasional untuk menghentikan pola yang sama berulang. Jika kita membiarkan kedhaliman berlalu tanpa penanggung jawab, kita memberi lampu hijau pada pengulangan—keadilan menjadi ritual hampa, bukan perbaikan nyata.
Kedua, ada bentuk kedhaliman yang halus: kebijakan yang tampak “netral” tetapi menimbulkan ketimpangan; bahasa publik yang merendahkan; prosedur hukum yang mempersulit korban. Dalam kasus seperti ini, “tangan” yang bertanggung jawab kerap tersembunyi — mulai dari birokrat yang menata regulasi sampai korporasi yang mengutamakan laba daripada keselamatan manusia. Menuntut akuntabilitas berarti meraba sampai ke akar kebijakan dan struktur kepentingan, bukan hanya mengejar wajah yang mudah dijangkau.
Ketiga, ada tangan yang berdosa karena keheningan. Sikap diam pejabat publik, elite sosial, maupun warga biasa di saat kezaliman berlangsung — itu juga bagian dari rantai tanggung jawab. Diam bukanlah netral; seringkali diam adalah komplicity. Keadilan menuntut keberanian: bukan hanya mengoreksi pelaku langsung, tetapi juga menegur sistem pendukung yang membiarkan ketidakadilan tumbuh.
Bagaimana mewujudkan akuntabilitas itu? Pertama, dengan transparansi. Proses penanganan kasus, data, serta dasar kebijakan harus terbuka sehingga publik dapat menilai dan menuntut. Kedua, dengan mekanisme hukum yang efektif: bukan hanya undang-undang di atas kertas, melainkan lembaga yang mampu bertindak independen dan tegas. Ketiga, dengan pendidikan moral dan literasi publik supaya warga tahu mana yang keadilan dan mana yang kedhaliman—sehingga solidaritas tumbuh dan toleransi terhadap ketidakadilan berkurang.
Namun keadilan tidak hanya bersifat retributif (menghukum). Ia juga restoratif—memperbaiki kerusakan, memulihkan martabat korban, dan merekonstruksi kepercayaan sosial. Menyebut tangan pelaku dan memberi hukuman tanpa proses pemulihan memberi rasa puas sementara, tetapi tidak menyelesaikan trauma kolektif yang ditinggalkan kedhaliman. Oleh karena itu, proses keadilan harus menyertakan reparasi, rehabilitasi, dan langkah-langkah preventif agar tangan yang sama tidak mengulangi perbuatan.
Akhirnya, ada tanggung jawab bersama: setiap warga punya peran dalam mencegah kedhaliman. Menjaga integritas pribadi, menolak kekerasan, melaporkan penyalahgunaan kekuasaan, hingga menggunakan suara kolektif melalui organisasi dan pemilu—semua itu adalah bentuk menahan tangan-tangan yang bisa berbuat zalim. Keadilan adalah karya bersama, bukan eksklusif milik institusi hukum.
Ketika kita berkata, “Tanganmu, penanggung jawab atas kedhaliman,” itu bukan seruan untuk balas dendam—melainkan panggilan moral. Panggilan agar mereka yang memegang kekuasaan mengingat bahwa setiap keputusan menimbulkan konsekuensi nyata pada kehidupan manusia. Panggilan agar masyarakat tidak lagi pasif menonton ketika kemanusiaan tercederai. Dan panggilan agar proses keadilan menjadi nyata: menemukan pelaku, memperbaiki yang rusak, dan mencegah kedhaliman berikutnya.
Keadilan sejati menuntut keberanian menunjuk tangan—dengan bukti, dengan hukum, dan dengan hati yang ingin memulihkan. Bila kita lalai, kedhaliman akan menjadi warisan. Bila kita tegas, keadilan akan menjadi pondasi untuk masa depan yang lebih manusiawi.