Di balik hamparan sawah yang menghijau, ada wajah-wajah letih yang jarang terlihat di layar televisi: para petani. Mereka adalah tangan-tangan yang memberi makan bangsa, namun seringkali menjadi kelompok yang paling terlupakan. Ironisnya, di negeri yang subur ini, banyak petani justru hidup dalam kepahitan, di antara harga pupuk yang mahal, hasil panen yang murah, dan janji pembangunan yang tak kunjung nyata.
Karena itu, dialog antara petani dan bupati bukan sekadar acara seremonial, melainkan kebutuhan moral — ruang untuk menyambung kembali jarak antara kebijakan dan kenyataan, antara meja kekuasaan dan lumpur kehidupan.
1. Suara dari Sawah: Jeritan yang Sering Tak Didengar
Petani tidak menuntut banyak. Mereka tidak meminta kemewahan, hanya keadilan dan perhatian. Mereka ingin harga pupuk terjangkau, akses air yang cukup, jalan tani yang baik, dan pasar yang tidak mematikan hasil panen mereka.
Namun sayangnya, suara petani sering terhenti di tengah jalan. Laporan mereka tidak sampai ke telinga pemimpin karena terhalang oleh lapisan birokrasi, atau sekadar dianggap “keluhan biasa.” Padahal, di balik setiap keluhan, ada kisah perjuangan dan kesabaran yang panjang.
Bupati sebagai pemimpin daerah seharusnya menjadi telinga pertama yang mendengar suara itu. Bukan hanya lewat laporan dinas, tetapi lewat dialog langsung, di mana petani bisa berbicara tanpa takut, dan pemimpin bisa mendengar tanpa sekat.
2. Dialog yang Menghidupkan Harapan
Dialog bukan hanya pertemuan, melainkan peristiwa moral. Saat seorang bupati duduk bersama petani, tanpa jarak dan tanpa protokol berlebihan, ia sedang mengembalikan makna kepemimpinan sejati — kepemimpinan yang melayani, bukan dilayani.
Dalam dialog itu, petani tak sekadar mengadu, tapi ikut merancang solusi. Mereka tahu apa yang mereka butuhkan, karena merekalah yang setiap hari bergulat dengan tanah, cuaca, dan risiko gagal panen.
Dialog semacam ini akan menumbuhkan dua hal penting:
- Kepercayaan rakyat terhadap pemerintah, karena mereka merasa dihargai.
- Empati pemimpin terhadap realitas, karena ia mendengar langsung dari sumbernya.
Dengan begitu, kebijakan tidak lagi disusun di ruang ber-AC tanpa data lapangan, melainkan lahir dari realitas sawah dan peluh para petani.
3. Kepedulian Nyata, Bukan Janji Musiman
Sudah terlalu sering rakyat mendengar janji yang menguap begitu saja setelah musim tanam berlalu. Bantuan datang hanya saat momentum politik, bukan karena kesadaran tanggung jawab. Padahal, kepedulian sejati bukan tentang bantuan sesaat, melainkan tentang perubahan sistem yang berkelanjutan.
Seorang bupati yang peduli tidak cukup hanya memberi pupuk gratis, tetapi harus memikirkan ekosistem pertanian secara menyeluruh:
- Bagaimana memastikan rantai distribusi tidak dikuasai tengkulak?
- Bagaimana menjamin harga gabah tetap stabil saat panen raya?
- Bagaimana menghubungkan hasil tani dengan pasar modern dan industri?
Kepedulian yang nyata berarti menghadirkan kebijakan yang berpihak dan berkelanjutan, bukan yang sekadar menarik simpati.
4. Petani Sebagai Subjek Pembangunan
Sudah saatnya petani tidak lagi dipandang sebagai objek bantuan, tetapi sebagai subjek pembangunan. Mereka bukan penerima belas kasihan, melainkan pelaku ekonomi yang layak didukung dan dihargai.
Melalui dialog terbuka, petani dapat menjadi bagian dari perencanaan pembangunan daerah. Misalnya, dalam menentukan prioritas irigasi, pengaturan harga hasil pertanian, hingga pengembangan koperasi tani.
Dengan melibatkan petani dalam setiap proses kebijakan, maka pembangunan akan lebih realistis dan tepat sasaran. Karena tak ada yang lebih tahu persoalan pertanian daripada mereka yang setiap hari hidup di dalamnya.
5. Dari Kepahitan Menuju Kebangkitan
Kehidupan petani adalah simbol ketekunan yang luar biasa. Mereka tetap menanam meski harga gabah jatuh, tetap berharap meski pupuk langka, dan tetap bersyukur meski hasil tak seberapa.
Kepahitan itu seharusnya menyentuh nurani setiap pemimpin daerah. Sebab tidak ada daerah yang bisa sejahtera bila petaninya terpinggirkan. Tanpa petani, roda ekonomi lokal lumpuh, dan ketahanan pangan rapuh.
Dialog antara bupati dan petani harus menjadi awal kebangkitan: membangun sistem pertanian yang adil, memperkuat daya tawar petani, dan memastikan kesejahteraan mereka bukan hanya wacana.
Bupati bukan hanya kepala pemerintahan, tetapi juga ayah bagi masyarakat. Dan seorang ayah sejati tidak hanya memberi perintah, tapi juga mendengar, memahami, dan menanggung beban bersama anak-anaknya.
6. Membangun Ruang Dialog yang Berkelanjutan
Dialog tidak boleh berhenti di satu acara simbolik. Ia harus menjadi mekanisme rutin yang menghubungkan rakyat dengan pemerintah daerah.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan:
- Membentuk Forum Komunikasi Petani Daerah (FKPD) yang beranggotakan perwakilan petani dari setiap kecamatan.
- Mengadakan Dialog Lapangan setiap tiga bulan, di mana bupati, dinas pertanian, dan petani bertemu langsung untuk membahas persoalan aktual.
- Membuka pusat informasi digital pertanian, tempat petani bisa menyampaikan keluhan atau saran secara terbuka dan cepat ditindaklanjuti.
Dengan langkah-langkah seperti ini, dialog akan menjadi budaya baru dalam pemerintahan — budaya mendengar, melayani, dan merespons dengan hati.
7. Kepemimpinan yang Menyentuh Tanah
Pemimpin yang sejati tidak diukur dari seberapa tinggi kursinya, tetapi seberapa dalam hatinya menyentuh rakyat. Saat seorang bupati mau turun ke sawah, menapaki tanah berlumpur bersama petani, ia tidak sedang merendahkan diri — ia sedang meninggikan martabat kepemimpinan.
Dialog antara petani dan bupati adalah simbol persaudaraan sosial antara yang memimpin dan yang dipimpin. Dari dialog itu lahir harapan baru, bahwa pembangunan bukan sekadar angka di laporan, tetapi kesejahteraan yang dirasakan di dada rakyat.
Petani tidak butuh pemimpin yang sempurna; mereka butuh pemimpin yang peduli, hadir, dan mau mendengar. Sebab dari kepedulian itulah, kehidupan bisa berubah. Dari kepahitan, lahir kekuatan; dari dialog, lahir keadilan; dan dari kebersamaan, tumbuh kesejahteraan.
#opini #gagasan #petani #bupati #pemerintahdaerah #pembangunan #keadilan #aceh #kesejahteraan #pertanian #rakyat
Penulis Azhari