Opini Politik Keluarga oleh Azhari
Di balik layar ponsel yang tampak sederhana, tersembunyi ribuan tragedi kecil yang lahir dari jari-jari yang salah arah. Di era digital yang serba mudah ini, muncul satu musuh baru yang diam-diam menggerogoti fondasi keluarga: judi online, atau yang kini populer disebut Judol. Ia tidak datang dengan wajah garang seperti perampok, tapi dengan tampilan warna-warni, bonus besar, dan janji palsu tentang “rezeki instan”.
Namun, di balik iming-iming itu, Judol telah menjadi salah satu petaka sosial paling destruktif yang mengancam keutuhan rumah tangga di Indonesia. Ia menghancurkan bukan hanya ekonomi keluarga, tapi juga moral, kepercayaan, dan cinta—tiga pilar utama dalam membangun bahtera rumah tangga yang kokoh.
1. Dari Gawai ke Bencana: Ketika Judi Masuk ke Rumah Tanpa Ketuk Pintu
Jika dahulu orang harus pergi ke tempat-tempat tersembunyi untuk berjudi, kini cukup dengan membuka aplikasi atau situs. Segalanya tersedia di ujung jari. Kemudahan ini membuat Judol menjadi seperti wabah: menyebar cepat, menular diam-diam, dan sulit dideteksi.
Lebih tragis lagi, banyak suami, istri, bahkan anak muda yang awalnya hanya “coba-coba”, lama-lama kecanduan. Gaji bulanan lenyap dalam hitungan jam, tabungan rumah tangga habis untuk mengejar “kemenangan semu”, dan akhirnya, konflik dalam keluarga pun meledak.
Telepon genggam yang seharusnya menjadi alat komunikasi kini berubah menjadi alat penghancur keharmonisan. Suami berbohong soal uang, istri curiga setiap notifikasi, dan anak-anak tumbuh di tengah ketegangan tanpa arah.
2. Politik Negara dan Lengahnya Pengawasan Digital
Masalah Judol tidak bisa dilepaskan dari politik kebijakan negara. Ketika pemerintah gagal menutup ribuan situs judi online, itu bukan hanya kegagalan teknis, tetapi kegagalan moral dan politik publik. Negara seharusnya hadir melindungi rakyat dari ancaman digital yang merusak generasi, bukan sekadar beretorika di media.
Sayangnya, penindakan sering kali sporadis—hari ini ditutup, besok muncul lagi dengan domain baru. Di balik itu, ada dugaan kuat tentang lobi dan uang besar yang bermain di dunia digital gelap ini. Judi online bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi telah menjadi industri gelap yang merasuk dalam jaringan ekonomi dan politik, membuat pemberantasannya tidak semudah menekan tombol “blokir”.
3. Ketika Nafkah Hilang, Cinta pun Pudar
Dampak terbesar dari Judol adalah krisis ekonomi keluarga. Banyak istri yang menangis karena uang belanja tak pernah cukup, sementara suaminya larut dalam dunia maya yang menjanjikan kekayaan cepat. Tidak sedikit anak yang harus berhenti sekolah karena biaya pendidikan terhenti di meja judi.
Dalam situasi ini, cinta dan kesetiaan diuji. Ketika ekonomi keluarga goyah, komunikasi pun retak, dan rasa percaya hilang, maka perceraian menjadi jalan yang paling sering diambil. Judol telah merenggut lebih banyak kebahagiaan keluarga daripada yang pernah dibayangkan.
Bahkan di beberapa daerah, Mahkamah Syar’iyah mencatat peningkatan perkara cerai akibat faktor ekonomi dan Judol. Ini bukan hanya masalah pribadi, tetapi sudah menjadi masalah sosial nasional yang membutuhkan penanganan serius.
4. Peran Istri dan Keluarga dalam Menghadapi Badai Digital
Dalam badai Judol, peran perempuan menjadi sangat penting. Istri bukan sekadar korban, tetapi juga penjaga moral rumah tangga. Ketika suami tergoda oleh dunia maya, istri harus menjadi penopang kesadaran. Namun itu tidak mudah. Dibutuhkan kekuatan emosional, pengetahuan digital, dan dukungan sosial.
Keluarga harus mulai membangun literasi digital berbasis nilai agama dan moral. Orang tua perlu mengenal aplikasi apa saja yang digunakan anak dan pasangan. Diskusi keluarga tentang keuangan, kejujuran, dan tanggung jawab perlu dihidupkan kembali. Karena Judol tidak hanya menghancurkan harta, tapi juga nilai-nilai yang membuat keluarga bertahan.
5. Agama dan Tanggung Jawab Moral di Era Digital
Islam dan agama-agama lain dengan tegas mengharamkan judi dalam bentuk apapun. Namun dalam era digital, pelarangan saja tidak cukup. Harus ada pendekatan pendidikan moral dan penguatan iman berbasis keluarga dan masyarakat.
Dayah, pesantren, dan lembaga pendidikan harus mulai membahas Judol sebagai fenomena moral kontemporer. Khatib dan ulama perlu menyuarakan bahaya judi digital dalam khutbah, bukan hanya sebagai dosa individu, tapi sebagai kejahatan sosial yang merusak umat.
6. Negara Harus Hadir: Dari Retorika ke Aksi
Pemerintah harus memperlakukan Judol seperti pandemi sosial. Penindakan tidak boleh berhenti pada pelaku, tetapi juga menyasar jaringan ekonomi dan penyedia layanan di baliknya. Kebijakan digital nasional harus tegas, dengan kerja sama lintas lembaga: Kominfo, Polri, OJK, dan Kemenag.
Lebih dari itu, negara perlu menyediakan jalur rehabilitasi digital dan ekonomi bagi korban Judol. Banyak keluarga yang bukan kriminal, tapi korban dari sistem yang longgar dan iklan yang menyesatkan. Mereka butuh pemulihan, bukan hanya hukuman.
7. Refleksi: Membangun Kembali Keluarga yang Sehat di Tengah Godaan Dunia Maya
Di era digital, keluarga adalah benteng terakhir. Ia bukan hanya tempat berteduh dari hujan, tapi juga dari badai moral dan teknologi. Ketika Judol menyerang, yang diuji bukan hanya iman individu, tapi kekuatan nilai dan kebersamaan.
Kita harus berani mengembalikan makna rumah tangga sebagai tempat dialog, kasih sayang, dan saling menjaga. Tidak ada aplikasi yang bisa menggantikan kehangatan doa bersama, obrolan malam tanpa gawai, dan saling percaya dalam mengatur keuangan.
Penutup: Dari Digitalisasi Menuju Dehumanisasi
Judol hanyalah satu wajah dari bahaya digitalisasi tanpa kendali. Ketika manusia semakin tunduk pada algoritma dan lupa pada nurani, maka rumah tangga pun akan kehilangan jiwanya.
Oleh karena itu, perjuangan melawan Judol bukan sekadar perang terhadap situs judi, tetapi perang untuk menyelamatkan nilai-nilai kemanusiaan dalam keluarga. Karena pada akhirnya, kekayaan sejati bukanlah saldo yang menggelembung, tetapi rumah tangga yang tenang, anak-anak yang bahagia, dan cinta yang tumbuh dalam kejujuran.
“Era digital memang membuka peluang,
tapi tanpa kendali moral, ia akan membuka jurang.”