Oleh: Azhari
Di tengah derasnya arus digital, dunia kini tak lagi berbatas. Setiap kata dapat melintasi benua dalam hitungan detik, setiap kalimat dapat mengguncang emosi, membentuk persepsi, bahkan menggiring opini publik. Namun, di balik kemudahan dan kecepatan itu, ada satu hal yang pelan-pelan terkikis — yakni bahasa yang santun dan kebenaran yang murni.
Bahasa, dalam sejarahnya, bukan sekadar alat komunikasi. Ia adalah cermin pikiran dan moral manusia. Ketika seseorang berbicara, maka keluarlah dari lisannya gambaran tentang siapa dirinya. Dalam budaya kita, terutama dalam tradisi Aceh dan Nusantara, bahasa selalu dijaga dengan etika: ada cara menyapa, cara mengkritik, dan cara menegur. Namun kini, di era media sosial, banyak yang menulis tanpa berpikir, berbicara tanpa menimbang, dan mengkritik tanpa memahami.
Zaman digital memang membuka ruang kebebasan. Tapi kebebasan tanpa tanggung jawab hanya akan melahirkan kebisingan intelektual. Orang berebut bicara, tetapi sedikit yang mau mendengar. Orang ingin terlihat benar, tetapi enggan mencari kebenaran. Akibatnya, ruang digital yang seharusnya menjadi wadah ilmu dan gagasan berubah menjadi gelanggang saling hujat dan pertunjukan ego.
Menjaga bahasa berarti menjaga peradaban. Dalam setiap kata yang kita tulis, ada nilai, ada makna, ada jejak moral. Maka, berhati-hatilah dengan bahasa, sebab ia dapat menjadi doa sekaligus senjata. Jika kata-kata digunakan untuk membangun, maka masyarakat akan maju. Tetapi jika kata-kata digunakan untuk mencaci, maka yang lahir hanyalah luka sosial.
Sementara itu, menjaga kebenaran di tengah derasnya informasi palsu adalah tugas moral setiap manusia berakal. Dunia digital membuat siapa pun bisa menjadi “penyiar berita”, tanpa verifikasi dan tanggung jawab. Kebenaran pun menjadi kabur, bercampur antara fakta dan opini, antara logika dan emosi.
Padahal, Islam mengajarkan bahwa “katakanlah yang benar, walau itu pahit.” Namun di zaman ini, kebenaran sering disembunyikan di balik kepentingan. Banyak yang takut dianggap berseberangan, takut kehilangan dukungan, atau takut diserang balik oleh warganet. Padahal, tanpa keberanian menyuarakan kebenaran, bangsa ini hanya akan menjadi penonton dari kemunduran moralnya sendiri.
Kita perlu menanamkan kembali etika literasi digital — bukan hanya soal cara menggunakan teknologi, tetapi juga bagaimana menimbang kebenaran dan menjaga tutur. Dunia maya seharusnya menjadi ruang belajar, ruang berdialog, dan ruang menebar kebajikan. Bukan tempat mencaci atau menebar kebohongan demi popularitas.
Menjaga bahasa dan kebenaran adalah dua tugas besar generasi hari ini. Bahasa adalah identitas, dan kebenaran adalah arah. Bila keduanya hilang, maka hilanglah jati diri bangsa. Maka, di tengah derasnya ombak digital, mari kita menjadi perahu yang menavigasi dengan hati, bukan dengan emosi.
Karena kelak, di antara miliaran jejak digital yang kita tinggalkan, yang akan dikenang bukan seberapa banyak kita berbicara, tetapi seberapa dalam makna yang kita tinggalkan untuk kehidupan.
🖋️ Refleksi ini mengingatkan bahwa menjaga tutur dan kebenaran di dunia digital bukan tugas kecil — ia adalah bentuk tanggung jawab terhadap masa depan bahasa, akhlak, dan kemanusiaan.