Refleksi dan Gagasan untuk Aceh yang Mandiri dan Bermartabat
Bayang Ketergantungan dan Harapan yang Belum Usai
Aceh pernah berdiri sebagai negeri yang disegani. Pelabuhannya ramai, perdagangannya luas, dan rakyatnya hidup dari kekuatan laut, kebun, dan hasil bumi yang berlimpah. Namun kini, setelah lebih dari dua dekade damai, muncul pertanyaan besar yang menggugah nurani: mengapa Aceh masih bergantung pada Medan? Mengapa ekonomi Aceh belum mampu berdiri di atas kakinya sendiri?
Setiap kali kita berjalan di pasar-pasar Aceh — dari Banda Aceh hingga Lhokseumawe, dari Langsa hingga Meulaboh — kita akan menemukan fakta yang menyesakkan: sebagian besar barang kebutuhan masyarakat berasal dari Medan. Bahkan, tidak jarang uang hasil usaha orang Aceh pun berputar di kota itu, bukan di tanah kelahirannya sendiri. Ketergantungan ini bukan sekadar soal perdagangan barang, melainkan cerminan ketergantungan struktural dan mentalitas ekonomi yang mengakar.
Di tengah kekayaan alam, potensi laut, tanah subur, dan generasi muda yang cerdas, Aceh seolah kehilangan arah ekonomi. Bukan karena kurang kemampuan, tetapi karena kehilangan keberanian untuk mandiri.
Kita pernah menjadi bangsa yang berdiri dengan harga diri. Maka, kini tibalah waktunya untuk bertanya dengan jujur: apakah kita masih ingin menjadi penonton di atas kekayaan sendiri? Ataukah kita siap menulis babak baru tentang Aceh yang bangkit, berdikari, dan bermartabat?
1. Medan dan Ketergantungan yang Mengakar
Hubungan Aceh dan Medan bukan hal baru. Ia telah berlangsung sejak masa kolonial, saat Belanda menjadikan Medan sebagai pusat ekonomi Sumatra Timur. Ketika itu, Aceh yang kaya rempah dan hasil laut menjadi penyuplai bahan mentah, sementara Medan menjadi tempat pengolahan, perdagangan, dan keuangan. Pola itu bertahan hingga kini, bahkan semakin kuat dalam sistem ekonomi modern.
Setiap truk yang melintas dari Medan ke Aceh membawa kehidupan: sembako, bahan bangunan, barang elektronik, hingga kebutuhan sehari-hari. Sementara truk yang kembali dari Aceh, sering kali kosong. Sebuah simbol nyata betapa arus ekonomi Aceh hanya mengalir ke luar, bukan ke dalam.
Ketergantungan ini menciptakan siklus ekonomi yang timpang. Aceh membeli lebih banyak daripada menjual, sehingga kekayaan yang dihasilkan rakyatnya tak pernah bertahan lama. Di satu sisi, Medan tumbuh menjadi kota metropolitan dengan denyut bisnis yang cepat, sementara Aceh masih tertatih dengan ekonomi yang stagnan.
Namun yang lebih berbahaya dari itu semua bukanlah ketergantungan ekonomi, melainkan ketergantungan mental.
Kita terbiasa berpikir bahwa apa pun yang berkualitas harus datang dari luar. Kita lupa bahwa negeri ini pernah menjadi penghasil lada terbaik di dunia, penguasa jalur laut internasional, dan pelopor perdagangan Islam di Asia Tenggara. Kini, semangat itu terkubur di bawah kebiasaan membeli, bukan mencipta.
2. Wajah Ekonomi yang Terlupa
Ekonomi Aceh seperti kapal besar yang kehilangan arah. Potensi ada di setiap sisi — laut, tanah, manusia, dan budaya — tetapi semua berjalan sendiri-sendiri. Sektor pertanian belum terhubung dengan industri pengolahan; sektor perikanan belum terintegrasi dengan pasar modern; sektor pariwisata masih menunggu tangan profesional untuk menata dan mempromosikan.
Akibatnya, ekonomi rakyat tidak pernah naik kelas. Para petani, nelayan, dan pedagang kecil terus berputar di lingkaran sempit: produksi, jual murah, habis, dan mulai lagi. Tidak ada nilai tambah, tidak ada keberlanjutan, tidak ada strategi besar.
Sementara itu, sebagian elite ekonomi dan politik lebih sibuk berbicara tentang proyek, bukan sistem. Dana otonomi khusus yang seharusnya menjadi motor pembangunan, sering kali berhenti pada pembangunan fisik tanpa arah ekonomi jangka panjang. Jalan dibangun, gedung didirikan, tetapi roda ekonomi rakyat masih berjalan di tempat.
Maka, ketika Medan tetap menjadi pusat distribusi ekonomi bagi Aceh, itu bukan salah Medan. Itu adalah tanda bahwa Aceh belum benar-benar memerdekakan ekonominya.
3. Mental Konsumtif dan Hilangnya Jiwa Dagang
Dulu, orang Aceh dikenal sebagai pedagang ulung. Dari pesisir Peureulak, Samudera Pasai, hingga Lamuri, mereka menguasai laut dan berdagang hingga ke India dan Arab. Namun kini, semangat dagang itu seolah pudar. Masyarakat Aceh cenderung konsumtif — lebih suka membeli daripada memproduksi, lebih suka menikmati hasil daripada menciptakan peluang.
Budaya “mengandalkan” telah menjadi penyakit sosial. Banyak yang berharap pada bantuan pemerintah atau proyek sementara, bukan pada kreativitas dan kerja keras yang mandiri. Padahal, kemandirian ekonomi tidak lahir dari bantuan, tetapi dari keyakinan bahwa setiap orang memiliki potensi untuk berjuang.
Jika kita terus bergantung pada pasokan dari luar daerah, maka lambat laun Aceh akan kehilangan daya saing dan identitas ekonominya.
Kita mungkin hidup cukup, tetapi tidak akan pernah berdaulat. Sebab kedaulatan sejati lahir dari kemampuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan menciptakan nilai dari kekuatan sendiri.
4. Gagasan Besar: Membangun Kemandirian Ekonomi Aceh
Kemandirian ekonomi tidak berarti menutup diri dari dunia luar. Ia berarti berdiri sejajar, bukan bergantung.
Berikut beberapa gagasan besar yang dapat menjadi jalan menuju kemandirian ekonomi Aceh:
a. Membangun Rantai Nilai Lokal
Aceh harus mampu memproduksi dan memasarkan hasil bumi, laut, dan kebunnya sendiri. Kopi Gayo, ikan laut, pala, dan hasil pertanian harus diolah di Aceh, bukan dijual mentah ke luar daerah. Pemerintah daerah perlu mendorong terbentuknya industri kecil dan menengah berbasis lokal, agar nilai tambah ekonomi tetap berputar di dalam Aceh.
b. Digitalisasi dan Ekonomi Generasi Muda
Era digital membuka peluang besar bagi generasi muda Aceh untuk berinovasi. E-commerce lokal, digital marketing, dan industri kreatif bisa menjadi jembatan antara produk Aceh dan pasar global. Pemerintah dan perguruan tinggi perlu menciptakan ekosistem start-up Aceh yang mendorong inovasi, bukan sekadar konsumsi teknologi.
c. Koperasi Modern dan Ekonomi Syariah
Koperasi Aceh harus direformasi menjadi lembaga ekonomi modern berbasis syariah dan profesional. Tidak hanya menyalurkan modal, tetapi juga mengelola produksi, distribusi, dan pemasaran bersama. Prinsip keadilan dan kebersamaan harus menjadi pondasi ekonomi rakyat Aceh.
d. Revitalisasi Pelabuhan dan Jalur Dagang
Pelabuhan seperti Kuala Langsa, Lhokseumawe, dan Meulaboh harus dijadikan gerbang perdagangan baru Aceh. Aceh punya peluang besar menjadi jalur ekonomi strategis antara Asia Selatan dan ASEAN. Jika ini dibangun dengan serius, maka arus perdagangan tidak lagi harus melewati Medan.
e. Pendidikan Ekonomi dan Kesadaran Kolektif
Sekolah dan kampus di Aceh harus menanamkan mental kemandirian ekonomi sejak dini. Pendidikan tidak boleh hanya mencetak pencari kerja, tetapi juga pencipta lapangan kerja. Spirit berdagang, berinovasi, dan berani mengambil risiko harus ditanamkan sebagai karakter utama generasi Aceh.
5. Visi Ekonomi Aceh 2030: Dari Konsumsi ke Produksi
Untuk mencapai kemandirian sejati, Aceh harus memiliki visi ekonomi jangka panjang. Tahun 2030 bisa menjadi titik balik menuju kebangkitan ekonomi Aceh dengan fokus pada empat pilar utama:
-
Ekonomi berbasis sumber daya lokal.
Setiap kabupaten harus memiliki produk unggulan yang dikembangkan secara profesional — bukan proyek musiman, tetapi komoditas berkelanjutan. -
Ekonomi digital dan kreatif.
Generasi muda harus menjadi penggerak ekonomi baru dengan teknologi, inovasi, dan kewirausahaan sosial. -
Ekonomi syariah dan berkeadilan.
Semua sistem ekonomi Aceh harus berpijak pada prinsip kejujuran, kemitraan, dan distribusi yang adil, sebagaimana nilai-nilai Islam yang menjadi dasar budaya Aceh. -
Konektivitas ekonomi Aceh dan dunia.
Aceh harus membuka diri untuk investasi dan kerja sama internasional, tetapi tetap menjaga kedaulatan atas sumber daya dan keputusan ekonomi sendiri.
6. Kemandirian sebagai Kehormatan
Kemandirian bukan soal ekonomi semata, melainkan soal kehormatan bangsa.
Bangsa yang mandiri tidak mudah digoyahkan oleh krisis, tidak mudah dijajah oleh pasar, dan tidak mudah dibeli oleh kepentingan luar. Ia berdiri karena harga diri dan kerja keras rakyatnya.
Aceh telah melalui perang, gempa, tsunami, dan konflik panjang. Semua itu membuktikan bahwa Aceh tidak mudah hancur. Kini tantangannya bukan lagi peluru atau senjata, tetapi rasa nyaman dalam ketergantungan.
Inilah musuh yang paling halus, tetapi paling mematikan: ketika kita merasa cukup tanpa berjuang.
Maka, mari bangkit.
Bangunlah kembali pelabuhan ekonomi Aceh, bukan hanya pelabuhan kapal, tetapi pelabuhan gagasan dan semangat.
Hidupkan kembali tradisi dagang, bukan untuk menumpuk harta, tetapi untuk menegakkan martabat.
Bentuklah generasi baru yang tidak takut bersaing, tidak malas berpikir, dan tidak bergantung pada bantuan.
Karena sejatinya, Aceh tidak miskin — yang miskin adalah keberanian untuk berdiri sendiri.
Dan selama semangat itu masih menyala, Aceh akan menemukan jalannya menuju kemakmuran dan kehormatan yang sejati.
Aceh tidak harus meniru Medan, cukup belajar darinya untuk kemudian berdiri sejajar, bahkan melangkah lebih jauh: menjadi Aceh yang berdaya, bermartabat, dan berdaulat di tanah sendiri.
Penulis Azhari