Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Racun di Bungkus Madu: Antara Iman, Pesta, dan Identitas Bireuen

Jumat, 10 Oktober 2025 | 15:51 WIB Last Updated 2025-10-12T07:43:46Z




Oleh: Zul Padli

Di kota kecil yang pernah disebut “kota santri”, kini dentuman musik lebih nyaring dari lantunan zikir. Di alun-alun yang dulu jadi tempat tabligh akbar dan pengajian akbar Ramadan, kini panggung hiburan berdiri megah, menelan gema azan di masjid terdekat. Lampu-lampu pesta menari seolah menertawakan doa-doa yang kian jarang terdengar dari rumah-rumah. Di antara tenda kuliner dan sorak-sorai penonton, Bireuen seakan kehilangan arah antara iman dan kemeriahan.

Kita menyebutnya “perayaan ulang tahun daerah”—simbol syukur atas kemajuan. Namun, apakah syukur itu harus diungkap dengan musik yang mengundang maksiat? Apakah rasa cinta kepada daerah harus diwujudkan dengan joget dan asap rokok, bukan dengan doa dan kerja nyata? Di balik panggung megah dan kembang api warna-warni, ada getir yang tak tampak: iman yang pelan-pelan terbakar oleh euforia yang tak terkendali.

Bireuen, Kota Santri yang Kian Redup

Bireuen dikenal sebagai “kota santri”. Julukan itu bukan sembarang gelar, tapi warisan dari generasi ulama yang menanamkan nilai-nilai tauhid di setiap langkah. Di sinilah pesantren tumbuh subur, dari Samalanga hingga Jeunieb, dari Peusangan hingga Pandrah. Ulama, teungku, dan syuhada pernah menorehkan sejarah pengorbanan demi tegaknya Islam di bumi Serambi Mekkah ini.

Namun kini, warisan itu seolah hanya tinggal nama. Di tengah gegap gempita modernisasi, nilai-nilai spiritual kian terpinggirkan. Generasi muda lebih hafal lirik lagu daripada makna surah Al-Fatihah. Malam Jumat yang dulu identik dengan zikir bersama kini hanya menjadi jeda setelah enam hari berpesta. Ironisnya, zikir dijadikan penutup acara, bukan napas kehidupan yang menyatu dalam keseharian.

Apakah ini yang disebut kemajuan? Ataukah kemerosotan yang dibungkus manis dengan nama “perayaan”?

Racun yang Dibungkus Madu

Judul “Racun di Bungkus Madu” bukan sekadar metafora. Ia menggambarkan bagaimana sesuatu yang tampak indah dan manis di luar, ternyata menyimpan bahaya di dalam. Pesta rakyat, musik, dan hiburan memang tampak menggembirakan. Tapi ketika semua itu mengikis nilai moral dan religius, di situlah racunnya bekerja.

Racun ini tidak mematikan seketika. Ia bekerja perlahan, melalui kebiasaan dan pembenaran. Kita mulai terbiasa melihat aurat terbuka di panggung, tertawa melihat tarian yang tak pantas, dan menganggap zikir hanya formalitas. Lama-lama, hati menjadi kebal terhadap dosa. Dan di saat itulah, racun benar-benar meresap ke dalam jiwa masyarakat.

Di balik dalih “menghibur rakyat”, terselip ironi bahwa rakyat justru sedang dihibur untuk lupa. Lupa pada akar identitas, lupa pada pesan moral para ulama, dan lupa bahwa kemajuan sejati tak pernah lahir dari kelalaian.

Zikir Bukan Penutup Pesta

Salah satu bait paling tajam dalam puisi ini menyindir fenomena zikir akbar yang dijadikan penutup setelah serangkaian konser dan pesta. Seolah zikir hanyalah “penghapus dosa kilat” yang cukup dibaca sehari setelah berbuat maksiat seminggu penuh. Padahal zikir bukanlah kosmetik spiritual. Ia adalah ruh yang menghidupkan kesadaran, penuntun akal, dan penjaga hati.

Zikir bukanlah ritual yang dipertontonkan di akhir acara, melainkan napas hidup yang seharusnya hadir di awal setiap langkah. Bila masyarakat menjadikan zikir sebagai pelengkap seremonial, maka maknanya telah direduksi menjadi hiasan semata. Di sinilah kritik Zul Padli menemukan relevansinya—bahwa kita sedang mempraktikkan spiritualitas semu, bukan kesalehan sejati.

Kota yang Menukar Cahaya dengan Debu

Puisi ini juga menyinggung rasa malu kolektif yang seharusnya tumbuh di dada masyarakat Bireuen. “Apakah kau tak malu menukar cahaya dengan debu dunia?” tanya penyair dengan getir. Pertanyaan itu seakan menggugah nurani kita semua. Di kota yang tanahnya pernah dipijak oleh ulama besar, kini musik dangdut dan konser pop menjadi simbol modernitas.

Padahal, kemajuan sejati bukan diukur dari jumlah panggung atau ramai tidaknya pasar malam. Kemajuan itu terlihat dari akhlak, pendidikan, dan kepekaan sosial rakyatnya. Dari sejauh mana anak mudanya menghormati ulama, menjaga adab, dan menolak menjadi generasi yang kehilangan arah.

Ketika identitas santri hanya tinggal slogan, maka yang tersisa hanyalah tubuh kota tanpa ruh. Dan tubuh tanpa ruh itu, meski tampak hidup, sebenarnya sedang mati perlahan.

Kembali pada Akar, Kembali pada Iman

Kritik yang disampaikan dalam “Racun di Bungkus Madu” bukanlah bentuk kebencian terhadap kemajuan atau hiburan. Sebaliknya, ini adalah panggilan agar masyarakat kembali menyeimbangkan dunia dan akhirat. Pesta boleh saja, tapi jangan melupakan etika. Hiburan boleh hadir, tapi jangan sampai mengikis iman.

Daerah yang berakar pada nilai Islam seharusnya menjadikan setiap kegiatan publik sebagai ruang dakwah dan pendidikan moral, bukan sekadar ajang hiburan konsumtif. Jika ulang tahun daerah diisi dengan tabligh akbar, lomba tahfiz, bakti sosial, atau bazar pesantren, bukankah itu lebih sesuai dengan identitas “kota santri”?

Kita membutuhkan pemimpin daerah yang peka terhadap nilai spiritual rakyatnya. Pemerintah daerah mesti berani menata arah kebudayaan lokal agar tidak menjauh dari nilai-nilai keislaman. Sebab pembangunan tanpa moral hanyalah jalan cepat menuju kehancuran.

Air Mata Taubat, Bukan Sorak Pesta

Penutup puisi Zul Padli menyimpan makna paling dalam:

“Sebab bumi tak akan sembuh oleh sorak pesta,
Melainkan oleh air mata taubat yang jatuh di sepertiga malamnya.”

Inilah pesan moral yang harus kita renungkan bersama. Kota yang ingin bangkit, harus bertumpu pada kesadaran spiritual. Tidak ada pembangunan yang berkah tanpa taubat, dan tidak ada kemajuan yang hakiki tanpa kesalehan.

Bireuen tidak sedang butuh pesta, ia butuh penyembuhan. Bukan dengan kembang api dan panggung musik, tetapi dengan air mata keinsafan. Bukan dengan tepuk tangan, tapi dengan sujud panjang di malam sunyi. Karena racun sosial hanya bisa dinetralisir oleh madu keikhlasan dan doa yang jujur dari hati yang bersih.


Bireuen, tanah ulama dan syuhada, jangan biarkan gelar itu menjadi sejarah tanpa makna. Jangan biarkan generasi muda kehilangan rasa malu dan rasa suci. Racun tetap racun, meski dibungkus madu. Dan madu sejati tak pernah butuh kemasan mewah—cukup keikhlasan yang tumbuh dari sujud dan kesadaran yang hidup di dada.

Semoga dari tanah santri inilah akan lahir kesadaran baru, bahwa perayaan sejati bukan di panggung pesta, melainkan di panggung taubat.