Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Gagasan untuk Lansia di Desa: Dari Negara untuk Rakyat

Senin, 06 Oktober 2025 | 22:33 WIB Last Updated 2025-10-06T15:36:28Z

gambar copas di Google 



(Refleksi Kebijakan Sosial dan Kemanusiaan di Tanah yang Kita Cintai)


Di tengah kemajuan zaman, ketika dunia berlari kencang mengejar digitalisasi dan produktivitas ekonomi, ada satu kelompok masyarakat yang sering luput dari perhatian: para lanjut usia (lansia). Mereka adalah generasi yang telah menanam, membangun, dan menjaga kehidupan di desa-desa sejak puluhan tahun silam. Kini, di masa senja, banyak di antara mereka yang berjalan tertatih, hidup sendiri, dan menggantungkan harapan pada perhatian sosial yang belum sepenuhnya hadir.

Ironisnya, di tengah gempuran pembangunan infrastruktur, pembangunan sosial untuk lansia masih berjalan lambat. Peningkatan jumlah penduduk lanjut usia dari tahun ke tahun menjadi tanda bahwa Indonesia — termasuk Aceh — sedang menuju masyarakat berstruktur tua (aging society). Namun, kebijakan dan perhatian terhadap kesejahteraan mereka belum seimbang dengan laju pertumbuhan ekonomi dan digitalisasi.

Padahal, kesejahteraan lansia adalah tolok ukur moral sebuah bangsa. Negara yang menghargai orang tua berarti negara yang memahami makna kemanusiaan. Sebab, penghormatan terhadap usia senja adalah bagian dari penghormatan terhadap kehidupan itu sendiri.


1. Lansia dan Realitas Kehidupan di Desa

Hidup di desa memberi ketenangan bagi sebagian orang, tetapi bagi sebagian lansia, desa juga menyimpan kesepian. Banyak di antara mereka yang anak-anaknya merantau ke kota, meninggalkan rumah tua yang hanya dihuni oleh sepasang suami istri renta, atau bahkan satu orang saja.

Beberapa data sosial menunjukkan bahwa mayoritas lansia di desa menghadapi tiga persoalan utama:

  1. Keterbatasan ekonomi dan akses pekerjaan.
  2. Keterbatasan layanan kesehatan dan gizi.
  3. Kesepian dan kehilangan dukungan sosial.

Mereka bukan sekadar angka statistik dalam data Badan Pusat Statistik (BPS), tetapi manusia yang dulu mengangkat cangkul demi menghidupi keluarga dan bangsa. Mereka adalah saksi hidup sejarah pembangunan negeri — mulai dari masa kemerdekaan hingga era reformasi. Namun kini, di usia tua, banyak yang merasa dilupakan.

Program bantuan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) memang telah menyentuh sebagian lansia, tetapi tidak semuanya mendapat manfaat karena keterbatasan data dan syarat administrasi.

Apalagi, sebagian besar lansia di desa tidak memiliki dokumen kependudukan lengkap — seperti KTP elektronik, kartu keluarga, atau rekening bank. Akibatnya, mereka sering tidak masuk dalam daftar penerima bantuan.

Inilah paradoks sosial kita: orang yang paling membutuhkan justru paling sulit dijangkau.


2. Desa Sebagai Titik Awal Kesejahteraan Lansia

Desa memiliki peran vital dalam menyelamatkan kehidupan lansia. Sebagai satuan pemerintahan terkecil, desa memiliki kedekatan sosial dan budaya yang tidak dimiliki oleh struktur pemerintahan lain. Masyarakat masih mengenal satu sama lain, masih ada gotong royong, dan masih ada kepedulian yang tulus — meski mulai terkikis oleh modernitas.

Dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pemerintah sebenarnya telah memberi peluang besar bagi desa untuk mengelola pembangunan sosial sesuai kebutuhan lokal, termasuk bagi lansia. Dana Desa yang digelontorkan setiap tahun seharusnya tidak hanya dipakai untuk pembangunan fisik, tetapi juga pembangunan manusia dan kemanusiaan.

Melalui Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Permendes) Nomor 13 Tahun 2020, pemerintah menegaskan bahwa Dana Desa dapat digunakan untuk kegiatan penanganan kelompok rentan, termasuk lansia. Namun, implementasinya di lapangan sering kali belum maksimal. Banyak desa masih memprioritaskan proyek fisik dibandingkan kesejahteraan sosial.

Padahal, jika desa mau berinovasi, banyak program sederhana yang bisa dilakukan:

  • Pembentukan Posyandu Lansia, yang menjadi pusat layanan kesehatan dan konsultasi gizi rutin.
  • Program gotong royong antar generasi, di mana pemuda membantu aktivitas harian lansia.
  • Forum Lansia Desa, tempat berbagi cerita dan kebijaksanaan hidup.
  • Bantuan sosial berbasis komunitas, seperti subsidi listrik, sembako, dan kebutuhan dasar.

Desa yang peduli pada lansia bukan hanya membangun manusia, tetapi menanam kemanusiaan.


3. Dari Bantuan ke Kemandirian Sosial

Selama ini, pendekatan terhadap lansia masih didominasi oleh pola bantuan (charity). Negara dan masyarakat sering kali memandang lansia hanya sebagai objek belas kasihan. Padahal, mereka memiliki pengalaman, keterampilan, dan nilai-nilai luhur yang bisa diberdayakan.

Kita perlu mengubah paradigma: dari bantuan menuju pemberdayaan sosial.

Misalnya, pemerintah desa dapat membuka program wirausaha sosial lansia, seperti pengolahan hasil pertanian ringan, kerajinan tangan, atau kuliner tradisional. Dengan dukungan pemuda, produk-produk itu bisa dijual secara digital melalui marketplace desa.

Selain itu, pemberdayaan spiritual dan emosional juga penting. Lansia perlu diberi ruang untuk tetap berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan keagamaan. Pengajian lansia, majelis taklim, dan kegiatan budaya lokal bisa menjadi sarana memperkuat makna hidup di usia senja.

Dengan cara ini, lansia tidak hanya hidup, tetapi tetap berarti.


4. Negara yang Hadir: Kebijakan dan Arah Perlindungan Sosial

Kesejahteraan lansia merupakan mandat konstitusional. Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Frasa “dipelihara” bukan berarti diberi makan semata, tetapi juga dijamin haknya atas kesehatan, keamanan, dan kehormatan.

Secara regulatif, pemerintah telah memiliki Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Namun, implementasinya di lapangan masih jauh dari ideal. Banyak program berjalan secara sektoral, tidak terkoordinasi antara Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Desa.

Diperlukan kebijakan integratif lintas sektor yang memandang lansia sebagai subjek pembangunan, bukan beban negara. Beberapa langkah strategis dapat diambil, antara lain:

  1. Integrasi Data Lansia Nasional agar bantuan tepat sasaran.
  2. Program Desa Ramah Lansia yang terstandarisasi nasional.
  3. Peningkatan Dana Alokasi Khusus (DAK) Sosial untuk pelayanan lansia.
  4. Pendidikan Kader Lansia Desa untuk pendampingan medis dan sosial dasar.
  5. Kemitraan dengan pesantren, lembaga keagamaan, dan ormas Islam, agar lansia juga mendapat perhatian spiritual.

Khusus di Aceh, program ini dapat bersinergi dengan Qanun Aceh tentang Kesejahteraan Sosial, yang memberi ruang besar bagi pelibatan masyarakat dan lembaga keagamaan. Dengan pendekatan syariat dan kearifan lokal, kesejahteraan lansia di Aceh dapat menjadi contoh nasional — bahwa agama, adat, dan negara bisa bersatu dalam kasih kepada yang tua.


5. Lansia Sebagai Guru Peradaban

Kita sering memandang lansia sebagai kelompok yang tak lagi produktif, padahal mereka adalah penyimpan sejarah dan moral bangsa.
Di setiap keriput wajah mereka, tersimpan kisah perjuangan, kejujuran, dan nilai-nilai adat yang kini mulai pudar di generasi muda.

Sudah saatnya pemerintah mengangkat peran lansia sebagai guru kehidupan.
Bayangkan setiap desa memiliki “Forum Hikmah Lansia” — tempat para orang tua berbicara tentang sejarah, adat, dan kebijaksanaan hidup kepada anak muda.
Itu bukan sekadar nostalgia, tetapi transfer nilai lintas generasi.

Di masa digital yang sering kehilangan makna, suara orang tua adalah cahaya kebijaksanaan.
Dan kebijakan sosial yang baik adalah yang mampu menjembatani masa lalu dan masa depan melalui penghormatan terhadap usia tua.


6. Peran Generasi Muda dan Masyarakat

Kepedulian terhadap lansia bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga tugas moral generasi muda.
Kita bisa memulai dengan hal kecil:

  • Menyapa dan membantu tetangga lansia.
  • Menjadi relawan dalam Gerakan Peduli Lansia.
  • Mendorong desa membuat kegiatan sosial lintas usia.

Di era digital, kita juga bisa menggunakan teknologi untuk membantu lansia — seperti aplikasi informasi layanan lansia, program “donasi online untuk orang tua desa”, atau konten edukatif tentang pentingnya menghormati orang tua.

Gotong royong yang dulu menjadi ruh bangsa harus dihidupkan kembali. Karena bangsa yang kehilangan empati akan kehilangan jiwanya.


7. Aceh dan Jalan Kemanusiaan

Aceh adalah tanah yang kaya nilai kemanusiaan dan spiritualitas. Dalam budaya Aceh, penghormatan terhadap orang tua adalah bagian dari adat dan agama. Namun, konflik panjang dan perubahan sosial pasca perdamaian membuat banyak nilai itu mulai luntur.

Kini, dua puluh tahun setelah damai Helsinki, sudah saatnya Aceh menata kembali kesejahteraan sosial berbasis syariat dan adat, termasuk untuk lansia.
Program “Dayah Lansia” atau “Meunasah Sejahtera” bisa menjadi wadah spiritual dan sosial bagi orang tua di gampong.

Pemerintah Aceh dapat menjadi pelopor Qanun Kesejahteraan Lansia, yang mengatur tentang pelayanan sosial, jaminan kesehatan, dan partisipasi masyarakat dalam membantu orang tua.
Aceh harus menunjukkan bahwa perdamaian bukan hanya tentang berhentinya konflik bersenjata, tetapi juga tentang hadirnya keadilan sosial dan kasih kemanusiaan.


 Dari Negara untuk Rakyat, Dari Hati untuk Kemanusiaan

Lansia bukan sekadar angka statistik, tetapi wajah masa depan kita.
Mereka adalah cermin: bagaimana kita memperlakukan mereka hari ini, begitu pula dunia akan memperlakukan kita di masa tua nanti.

Negara yang besar adalah negara yang menyayangi orang tuanya, bukan meninggalkannya.
Desa yang maju adalah desa yang memberi tempat bagi lansia untuk tetap hidup bermartabat.
Dan masyarakat yang beradab adalah masyarakat yang menjadikan kasih sayang sebagai dasar pembangunan.

Karena pada akhirnya, kemajuan sejati tidak diukur dari teknologi, jalan tol, atau menara tinggi,
melainkan dari seberapa lembut tangan kita menggenggam tangan yang mulai rapuh.


#Opini #Gagasan #Lansia #Desa #NegaraUntukRakyat #KesejahteraanSosial #Aceh #DanaDesa #GotongRoyong #SyariatDanKemanusiaan


Penulis Azhari